Monday, December 18, 2006

kamar cerpen

Cinta Tak Selamanya Memiliki ....

Oleh: Lina

Kuambil gitar, lalu kupetik satu per satu snar dengan nada yang kupilih, yaitu kunci G. Kunyanyikan sebuah lagu, SAMSON, yang sekarang ini lagi beken.

Aku yang lemah tanpanmu

Aku yang rentan karena

Cinta yang tlah hilang darimu

yang mampu menyanjungku

Selama mata terbuka

sampai jantung tak berdetak

Selama itu pun aku mampu tuk mengenangmu

Darimu .....

Kutemukan hidupku

Bagiku kaulauh cinta sejati

yeee .... hu ..........

“Rot ........ Rot ......... Jarot ....., kamu di mana?” seru Deni.

Teriakan itu mengusik nyanyianku, huh! Dasar bahlul! Senengnya gangguin yang lagi bete. Ada apa dia teriak-teriak? Aku terus ngomel dalam hati, buyar dech semuanya. Belum sempat aku jawab teriakannya, dia sudah berada di belakangku.

“Alah, kau! Aku panggilin kok nggak nyahut, kenapa? Tuch ada telpon dari si Rike!” katanya mengagetkanku. Aku langsung berlari, meninggalkan Deni dan menghampiri telpon yang nggak jauh dari kamarku.

“Huh! Dasar onta! Dari tadi kupanggil nggak nyahut, eh, giliran si Rike telpon langsung saja dia lari!” gerutu Deni.

“Halo?” sapaku dengan suara yang kubuat selembut mungkin (pikirku tumben si Rike ngebel, ngapain? bikin hati aku deg-deg-an aja)

“Halo, Rot? Kamu lagi sibuk nggak? Kalau nggak sibuk antar aku ya, mau nggak?” katanya, dengan nada suara agak sedikit manja.

“Mau ke mana, Rik?” jawabku.

“Ke Gramedia cari buku, kebetulan aku ada tugas, tapi kalau kamu lagi sibuk, nggak usah aja dech,” katanya.

“Eh, Rik, aku nggak sibuk kok, kapan?” kataku (berbohong, padahal tugasku juga masih banyak, tapi demi Rike semuanya akan kulakukan).

“Entar sore kamu jemput aku ya!”

“Oke,” balasku.

Bye.”

Setelah kututup telpon, aku langsung lemas. Duh, Rike ....... Rike ...... jangankan melihat wajahnya, mendengar suaranya saja aku sudah seneng banget. Oh cintaku ....

· * *

Aku akan cerita sedikit tentang Rike. Rike satu kampus denganku aku kenal dia semenjak aku masuk kampus itu. Kurang lebih 1 tahun aku dekat sama dia. Ke mana-mana selalu bersama-sama. Aku tahu makanan favouritnya, kesukaannya, pokoknya apa yang ada padanya aku hafal di luar kepala. Dia orangnya supel, banyak orang yang senang padanya, padahal menurutku wajahnya sich nggak terlalu cantik. Mungkin karena hatinya baik, yang membuat dia cantik. Tapi rasanya tetap saja hambar, soalnya satu yang aku belum tahu darinya, yaitu cinta ..... apakah dia mencintaiku? Atau dia sudah punya pacar? Terus terang aku telah mencintainya sejak pandangan pertama. Tapi entah dengannya, soalnya aku juga belum mengatakan cinta kepadanya. Nanti kalau ada kesempatan yang baik, akan kugunakan untuk mengatakannya. Hingga tiba saat ini, mungkin dengan mengantarnya ke toko buku adalah kesempatan terbaik untuk mengatakan cintaku.

* * *

Oh, aku jadi ingat si Deni kutinggalkan di kamarku. Deni teman kostku, dia sahabat karibku, dia tahu perasaanku ke Rike. Kutemui Deni yang lagi merenung di kamarku.

“Sori, Den, aku tadi lagi bete. Eh, pas kamu datang ngasih kabar ada telpon dari Rike, aku jadi senang dech,” kataku sambil guyon.

“Dasar onta-luh, giliran si Rike aja kamu sigap, eh sobat kamu sendiri dicuekin,” jawabnya sambil cemberut.

“Eh, apa katanya, Rot? Ngajak kencan, ya? Apa dia ngomong cinta sama kamu?” tanyanya dengan cepat.

“Nggak, dia ngajak ke toko buku, katanya ada tugas,” jawabku datar.

“Ya, nggak seru dong. Gini, aku kasih tahu kamu, entar pas kamu lagi jalan ama dia, kamu langsung tembak dia, bilang I Love You gitu, apa susahnya sich ngomong begitu,” katanya dengan semangat.

“Eh! Ngomong sih gampang, tapi ini bibir susah diajak kompromi. Kalau sudah ketemu dia, hilang dech apa yang akan diomongin. Asal kamu tahu aja ya, aku tuch sering latihan ngomong I love you ..... I love you ..... tapi kalau sudah dekat si Rike, aduh ..... kelu dech rasanya,” jawabku.

Mendengar penjelasan dariku, Deni langsung bengong, nggak tahu apa yang dia pikirkan, aku juga kadang geli sendiri ngomong I love you saja kok susahnya minta ampun.

* * *

Singkat cerita aku jalan sama dia, putar-putar sekitar toko buku. Setiap buku yang menurutnya menarik, ia langsung minta pendapatku, akupun menjawab sebenarnya, (jaga imej) pokoknya jalan sama Rike menyenangkan (padahal aku paling sebal jalan-jalan ke toko buku) tapi kalau yang ngajaknya Rike ke manapun selalu menyenangkan bagiku.

“Eh, Rot, sudah ini kita makan dulu, ya,” katanya sambil menarik tanganku.

Aku ikut saja, aduh hatiku deg-deg-an lagi, harus gimana nich, kucoba untuk menenangkan hati. Terus dia memilih tempat yang pas dekat air mancur, pemandangan yang sangat indah (bisa juga tuch si Rike memilih tempat yang romantis). Ya, disinilah aku akan mengatakan cintaku .... oh Tuhan mudah-mudahan, aku lancar dalam menyampaikannya

“Kamu pesan apa Rot?” tanyanya lagi.

“Aku sich terserah kamu aja dech,” kataku singkat.

Idih, kok terserah aku, ya udah, kalau gitu pesan ini saja,” katanya sambil menunjukkan tulisan. “Mie Yamin manis” yang tertera pada menu makanan.

Aku menggangguk. Iya pokoknya terserah kamu Rike, semuanya kuserahkan padamu, bahkan kalau kau minta jantungku, akan aku berikan untukmu ..... (puitis banget).

Tak lama kemudian 2 porsi mie yamin manis dan 2 gelas es campur tiba. Aku masih dalam lamunanku. Aduh gimana ya mulainya, aku harus mengatakannya gimana ya, masa sambil makan? Tapi mending sekarang, kapan lagi ...... nanti saja kalau makannya sudah selesai. Hatiku terus berkecamuk memikirkan strategi jitu penembakan, hingga akhirnya aku putuskan untuk menembaknya pas sudah makan saja. Kami makan begitu lahap, mungkin Rike sangat kelaparan, tapi aku tidak sabar untuk menyatakan. Kulihat dia sedang minum es campurnya

“Eng ... Rik .... eh, kamu sudah ..... ,” kataku terbata-bata (aduh gimana nich gugup sekali, masa ngomong I Love You saja susah).

“Ya, apa? Kamu mau ngomong apa, Rot, kok gugup sich kelihatannya?” tanyanya santai.

“Aduh, begini aku jadi malu, Rik, apakah kamu sudah mempunyai kekasih?” tanyaku spontan.

Hek .... dia seperti tersendat ......

“Kenapa kamu menanyakan itu?” tanyanya lagi.

Aku terdiam. Aduh, mudahan-mudahan dia belum mempunyai kekasih.

“Enggak, maksudku aku mau mengatakan, aku suka kamu Rik, aku jatuh cinta padamu, Rik .....,” itu dia kata-kataku.

Tapi dia malah bengong, aku ngomong gitu.

“Gi-gimana, Rik? Aku ingin jawabanmu, sejujurnya dari dasar hatimu yang paling dalam. Tapi kamu jangan takut. Kalau memang kamu sudah ada yang punya ya, nggak apa-apa,” kataku dengan nada agak menurun.

“Benar. Kamu nggak akan marah, Rot kalau aku berkata jujur?” tanyanya lagi.

Aku hanya mengangguk. Hatiku deg-deg-an.

“Sebenarnya aku sudah mempunyai kekasih, malah sudah tunangan, tapi dia sekarang lagi sekolah di Kanada, sekali lagi sori ya, Rot. Kamu adalah sahabatku yang terbaik, kamu adalah teman sejatiku, Rot. Hanya itu yang ada dihatiku, tapi asal kamu tahu, aku juga menyayangimu, mencintaimu, tapi sebatas sahabat, kan dulu kamu pernah bilang padaku, bahwa cinta tak harus memiliki, betul ‘kan?” katanya panjang sekali.

Hatiku terkulai lemas .... oh Tuhan aku merasa malu, tapi kukuatkan hatiku.

“Rot, kamu tidak apa-apa, kan?” tanyanya lagi.

“Nggak, Rik, kamu jangan khawatir aku akan tetap menjadi sahabatmu, melindungimu di saat kekasihmu tidak ada, aku juga mengucapkan terima kasih padamu, atas kebaikanmu selama menjadi sahabatku,” kataku. Kucoba untuk tetap tenang dan tegar (padahal hatiku sakit ..... pedih ..... )

Tak lama kemudian Rike berdiri dari tempat duduknya sambil berkata.

“Kita adalah sahabat sejati,” kataya sambil menyodorkan lengannya.

Kusambut tangannya .................. “Ya, dan akan selalu begitu.”

No comments: