Monday, December 18, 2006

kamar cerpen

Dina, Sabarlah Menungguku!

Oleh: Udi Sukrama

Aku terkadang miris dan sedih melihat berita tentang perceraian para Artis akhir-akhir ini di televisi. Contohnya, rumah tangga Gusti Randa dengan Nia Gusti Randa yang dahulunya dikabarkan sebagai keluarga artis idaman yang berikrar untuk tidak saling menyakiti satu sama lainya. Ternyata, keluarga artis pemeran Samsul Bahri ini malah menjadi keluarga artis tercemooh akibat perselingkuhan Nia dengan Mr XY yang berujung perceraian. Akibatnya sedikit fatal, Gusti Randa tidak mengikhlaskan lagi namanya untuk diberikan kepada Nia Gusti Randa. Akhirnya, Nia harus rela dengan nama yang umum disandang oleh wanita yang telah bercerai dengan suaminya, yaitu Nia Janda. Contohnya lagi keluarga Rafli dan Tamara Blezinsky. Wah, berita tersebut membuat aku hanyut kembali dengan kisahku kembali.

Namaku Arman Landu, namun orang-orang sering memanggilku dengan nama agak keeropa-eropaan “Arland Pernandes”(Pernandes=peranakan desa). Aku pernah membangun keluarga. Pada pernikahanku yang pertama, aku menikahi seorang gadis cantik bernama Ratna. Ratna merupakan gadis yang kukenal di kampus empat tahun yang lalu. Pada tahun 1995, kami sama-sama lulus kuliah, dan tanpa menunda lagi kami langsung memutuskan untuk menikah. Keputusan itu dengan sadar kami ambil karena pada saat kuliah, kami sudah saling mengenal bahkan sama-sama bekerja. Aku bekerja sebagai manajer di salah satu bank swasta di Jakarta, sedangkan Ratna bekerja sebagai staf akunting di sebuah perusahaan jasa pengiriman barang di kota yang sama pula. Jadi, boleh dikatakan kami tidak ada masalah untuk mencukupi biaya hidup sehari-hari.

Pada awalnya pernikahan kami diliputi pelangi kebahagiaan tanpa ada awan hitam yang terhampar di atas mahligai kelurga kami. Apalagi setelah kami dikaruniai bayi oleh yang Maha Pemberi, rasanya semakin lengkap sudah kebahagiaan kami. Buah cinta dari pernikahan kami itu merupakan harta yang termahal dan tidak bisa dibandingkan walaupun dengan seribu candi Loro Jonggrang.

Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1997, aku mulai resah karena bank di mana tempatku bekerja dilikuidir. Akan tetapi, pada tahun tersebut aku masih bekerja karena harus memeroses pengembalian uang para nasabah yang yang masih tersisa. Baru pada tahun 1998, aku resmi tidak bekerja, tepatnya nganggur. Jadi, praktis untuk menambah kebutuhan hidup sehari- hari, aku hanya mengandalkan uang pesangon yang kuhitung-hitung hanya cukup untuk dua tahun. Pada masa menganggur itu sungguh merupakan masa-masa rentan keluarga kami. Kami sering ribut karena masalah uang. Aku menyadari bahwa selama ini kehidupan rumah tangga kami kuawali dengan hidup foya-foya atau ” berboros ria”. Hal itu, kulakukan karena aku sangat mencintai istriku, Ratna. Aku rela berbuat atau membeli barang apa saja asalkan ia bahagia, meskipun aku harus kasbon di kantor.

Aku memcoba mencari pekerjaan demi kelanjutan ekonomi keluargaku, namun sudah satu tahun aku tidak berhasil juga. Aku semakin terpuruk saat Ratna meminta cerai karena tidak tahan dengan hidup apa adanya. Pedih rasanya hatiku saat mendengar pernyataan istriku. Seperti biasanya, apabila aku mendengar pernyataan itu, aku hanya diam dan berdoa sambil memejamkan mata,“Ya Tuhan, begitu berat cobaan hidupku ini. Aku memohon kepada-Mu, tunjukkan kekuasaan-Mu dengan sekejap mata agar aku dapat langsung diterima bekerja dengan penghasilan sama seperti aku bekerja semula atau kalaupun permohonan itu terlalu muluk-muluk bagi-Mu, aku memohon kepada-Mu kalau bisa kembalikan aku pada tempat kerjaku semula. Selanjutnya, aku juga memohon kepada-Mu, hapuskan saja kata “likuidasi” agar aku terbebas dari kondisi menganggur. Dengan demikian, aku dapat mencukupi kebutuhan dan segala yang diinginkan Ratna, istriku.”

Sejenak aku membuka mataku. “Wah, rupanya Tuhan marah kepadaku karena kehidupanku dahulu teramat boros. Akan tetapi, aku harus berpikir positif kepada Tuhan, mungkin Yang Maha Pemberi itu sedang menguji ketabahan dan kesabaranku. Ya, sabar-sabar, namun sampai kapan aku harus sabar menunggu masa itu Tuhan,” dalam hatiku bergejolak.

Pada akhir tahun 1999, Ratna memelas kepadaku untuk secara resmi menceraikannya. Ia meminta kepadaku untuk menanda tangani surat di atas segel yang berisikan tentang permohonan cerainya. Aku tidak kuasa melihat ia memelas dan menangis dihadapanku sehigga entah mengapa tanganku yang lancang ini mau menanda tangani surat itu. Setelah itu, aku baru sadar telah memutuskan tali ikatan keluargaku. Akhirnya, demi kebahagian Ratna dan putraku, aku juga merelakan rumah dan sisa tabunganku untuk mereka. Sementara itu, aku harus mengungsi ke rumah orang tuaku.

Dalam kesendirianku itu, aku selalu berdoa untuk kebahagian Ratna dan anakku, meskipun kudengar berita bahwa Ratna akan menikah dengan orang yang bernama Darmono, rekan sekantornya setelah masa iddahnya berakhir. Mendengar berita itu, betapa remuk hatiku. Terkadang aku menangis dan teriak sekuat-kuatnya di kamarku. Setelah menangis dan teriak, rasanya hatiku terasa sedikit lega walaupun aku tahu orang tuaku dan adikku merasa terganggu akan ulahku itu. Menyadari hal itu, aku memcari pelampiasan kesendirian dan gundahku itu, yaitu dengan membeli sebuah gitar.

Pada suatu sore, aku keluar rumah menuju toko alat-alat musik untuk membeli sebuah gitar. Di sebuah toko alat-alat musik tepatnya di kawasan Glodok aku melihat-lihat beraneka jenis gitar tergatung. Ketika sedang melihat-lihat, aku tersentak mendengar suara lebut dan sopan menyapaku.

“Maaf Mas, ada yang bisa saya bantu,” kata seorang gadis yang memiliki tubuh kulit kuning langsat dan bertubuh seksi bagaikan gitar yang digantung itu.

“Anu..anu Mba Gitar, sa..sa..saya ingin beli Mba Gitar…eh gitar,” kataku dengan gugup.

Kontan saja, orang-orang yang ada di sekelilingku tertawa, bahkan gadis itu pun geli melihat tingkahku. Akan tetapi, ia memcoba menahan tawanya dengan menutupi mulutnya dengan telapak tangannya.

“Waduh, betapa cantiknya gadis ini!” pujiku kepadanya dalam hati.

“Mas…Mas…Mas, bingung ya memilih gitar di sini?” kata gadis itu sambil tersenyum-senyum.

“Eeee..,iya..iya, Mba,” kataku sambil menggaruk-garuk kepala.

Lagi-lagi, ia tersenyum simpul. Mudah-mudahan, ia tidak berkata bahwa aku sedang mengidap penyakit KeGeeRan, padahal memang begitu adanya.

“Begini Mba, kalau gitar merek “YAMAHA” ini berapa harganya ya?” kataku mengalihkan pandanganku pada sebuah gitar.

“Oh, yang ini, Mas! Ini harganya Rp650.000,00, Mas,” katanya sambil memandangi wajahku.

“Aduh, aku tidak tahan dengan tatapannya yang tajam itu,” keluhku dalam hati.

“Bagaimana Mas, jadi membeli gitar yang ini?” tanyanya membuyarkan kekagumanku kepadanya.

“Jadi, jadi Mba, boleh langsung dibungkus dengan daun saja?” kataku kepadanya.

Gadis itu tersenyum, ia pun pasti mengetahui bahwa perkataanku tadi salah. Meskinya aku berkata, “Jadi Mba, silakan diberi sarung gitarnya. Bukan dibungkus dengan daun saja, memangnya kue ketan ataupun nasi uduk.” Jelas dalam hatiku.

Akhirnya, aku tidak tahan ingin berkenalan dengannya dan itu berhasil. Dia menyebutkan namanya Dina. Selain itu, ia memberikan kartu nama yang tertera alamatnya. Dalam kartu nama itu, tertulis Dina Hapsari, Marketing staff. Seperti biasanya, hal yang menyakitkan dan memilukan rupanya kebodohanku mulai kambuh lagi, aku hanya menyebutkan namaku tanpa dilengkapi dengan alamatku. Akan tetapi, hal yang lebih menggembirakan lagi, kebetulan saat itu, Dina sudah tidak mempunyai pacar alias sudah putus dengan pacarnya. Selanjutnya, aku sering berkunjung ke rumahnya bahkan selalu mengantarnya jika ia pulang bekerja. Sejak mengenal Dina, semangat hidupku mulai bangkit, bangkit dari kehidupanku yang hampir terkubur dalam jeratan sakit hati.

Memang benar menurut kata orang, apabila kita patah hati atau sakit hati karena putus cinta, cuma cintalah satu-satunya obat yang paling mujarab. Karena cinta itulah, aku juga mulai merintis usaha baru dengan berdagang mie ayam dan makanan ringan lainnya di depan rumah orang tuaku. Keuntungan dari dagangan itu tidak begitu besar, tetapi cukup untuk membeli bensin sepeda motorku dan jalan-jalan dengan Dina.

Suatu hari, aku dan Dina merencanakan untuk pergi makan sore ke sebuah restoran siap saji “Kentutky Fried Chiken” di Atrium Senen. Sesampainya di sana, aku langsung mengantre untuk memesan dua porsi makanan siap saji itu dan aku meminta agar Dina menunggu saja di meja dekat kaca jendela yang dapat melihat pemandangan hiruk-pikuk kemacetan Kota Jakarta di sekitar restoran itu. Tiba-tiba, mataku tertuju kepada seorang wanita yang mengantre di konter pesanan baris kedua. Wajah wanita itu sepertinya tidak asing bagiku. Wajahnya mirip dengan Ratna mantan istriku, ya, pasti itu Ratna. Aku mengamatinya dari jarak yang cukup aman untuk tidak diketahuinya. Ia rupanya terlebih dahulu memesan, sedangkan aku masih menunggu tiga orang yang mengantre di depanku. Aku terus mengamatinya sampai di meja mana ia duduk.

“Oh, rupanya ia duduk dekat lelaki krempeng, itukah suaminya yang bernama Darmono. Ratna, Ratna, apa kamu buta? Padahal laki-laki itu dibandingkan diriku, tentu lebih tampan aku. Bedanya hanya karena dia terlihat necis dan perlente saja,” ejekku dalam hatiku, “Lalu, siapa bocah kecil yang berumur kurang lebih dua tahun, yang duduk di samping lelaki krempeng itu? Apakah…….dia? Oh, My God! Itukah anakku, Irfan?” hatiku menjerit seketika.

Perasaanku kalut melihat kenyataan itu, apalagi ketika Irfan disuapi makan oleh Darmono. Mereka tertawa ketika Irfan dengan makanan dengan lahapnya. Seketika pikiranku melayang. Aku membayangkan, alangkah indahnya apabila aku duduk di sana menggantikan Darmono. Aku bisa tertawa dan bercanda dengan Ratna dan Irfan.

Tanpa kusadari mata ini telah basah dengan buliran-buliran air kesedihan. Akan tetapi, adegan kesedihanku itu terusik dengan sapaan seseorang.

“Mas….Mas Arland….Mas Arland mengapa berdiri di sini saja? Ayo, kita duduk di sana saja!” Dina menuntunku ke meja yang telah kami pesan.

“Apa Mas Arland sedang sakit?” kata Dina sambil memegang keningku dengan telapak tangan kanannya.

“Mas Arland….Mas Arland? Kok diam saja?” kata Dina agak khawatir dengan keadaanku.

“Ah, tidak hanya masuk angin saja, soalnya kemarin saya kehujanan ketika belanja barang dagangan di pasar,” jelasku kepadanya.

Padahal dalam hatiku berkata,“Ya, aku sakit Dina. Hatiku yang sakit, rasanya tersayat-sayat sangat dalam.”

Melihat keadaanku yang kurang sehat itu, Dina mengajakku pulang dan meminta kepada pelayan agar makanan pesanannya dibungkus saja. Sebelum kami pulang, kusempatkan melihat ke arah Ratna dan anak dari darah dagingku itu. Jiwaku dan hatiku berpamitan kepada mereka berdua, buliran air mata kesedihan pun mengalir kembali. “Selamat tinggal Ratna, selamat tinggal anakku.Aku akan selalu berdoa, semoga kalian selalu bahagia,” kataku dalam hati.

Di tengah perjalanan pulang, Dina memaksa untuk berkunjung ke rumah orang tuaku. Walaupun dengan berat hati, tetapi aku mengabulkan permintaannya. Sesampaikanya di rumah, aku langsung memperkenalkan Dina kepada orang tua dan adikku. Dina terlihat senang berkenalan dengan orang tua dan adikku. Setelah Dina asyik bercengkrama dengan keluargaku, lalu ia berpamitan pulang. Ia tidak mau kuantar dengan sepeda motor karena menurutnya aku harus banyak istirahat. Akan tetapi, Ia hanya memintaku untuk mengantarnya sampai mendapatkan taksi menuju ke rumahnya.

Setelah mengantar Dina sampai naik taksi, aku langsung pulang dan masuk kamar. Di dalam kamar aku terus membayangi kejadian di restoran sore tadi. Aku menangis dan meratapi nasibku ini. Aku bertekad, semoga hal ini tidak akan menimpa hubunganku dengan Dina. Aku teramat yakin, Dina sangat tulus mencintaiku dan mau menerima keadaanku apa adanya. Oleh sebab itu, aku tidak mau kehilangan orang yang kucintai untuk kedua kalinya. “Oh, Tuhan jangan pisahkan aku dengan Dina. Aku memohon kepada-Mu untuk terakhir kali ini saja!” pintaku kepada Tuhan.

Untuk membuktikan betapa besar cintaku kepada Dina, kutuliskan namanya pada punggung gitarku. Hal ini kulakukan agar nama Dina selalu melekat dalam ingatanku. Bahkan saat tidur pun aku selalu membawa gitar bertuliskan nama Dina itu. Akan tetapi, semakin aku melihat namanya di gitar itu semakin aku takut kehilangannya. Jiwa mulai tergoncang. Oleh sebab itu, untuk menghibur hatiku, aku selalu bernyanyi dengan gitar yang kutulis nama Dina. Mulai sejak itu, aku mulai takut kehilangan nama Dina. Tidak akan kubiarkan sedetik pun ia jauh dari pengelihatanku. Makan pun aku selalu dekat dengannya. Bahkan mandi pun kini aku mulai jarang. Kalau kuhitung-hitung sudah hampir dua minggu aku jarang mandi dan tidak pula keluar rumah. Karena keadaanku ini usaha dagang yang telah kurintis hampir terbengkalai. Untung saja adikku mau menjalaninya, jadi cukup untuk menambah biaya kebutuhan sehari-hari.

Melihat kondisiku seperti itu, orang tua dan adikku merasa khawatir. Apalagi jika mendengar terkadangku menangis, tidak lama kemudian aku bernyanyi dan tertawa. Akhirnya, mereka mengambil sebuah keputusan untuk membawaku ke sebuah tempat, di mana aku dapat diurus dan dilayani.

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Sore itu, datanglah lima orang berseragam putih-putih turun dari sebuah mobil van berwarna yang sama. Mereka terdiri atas tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan. Mereka datang memenuhi undangan keluargaku.Orang-orang berseragam putih itu kemudian menbujukku dengan lembut agar keluar dari kamar.

“Selamat sore Bapak Arland! Bagaimana kabar Bapak?” tanya seorang wanita berkaca mata dari kelima oreang berseragam putih itu.

“Sore, kabar saya baik! Maaf ini siapa ya?” tanyaku sambil membuka pintu kamar.

“Ini kami dari utusan dari bank di mana Bapak dahulu bekerja,” kata wanita yang seolah-olah tahu masa laluku. “Bapak diminta untuk aktif kembali bekerja di sana sekarang juga,” sambung wanita itu.

“Sekarang juga? Kalau begitu saya ganti baju dahulu,” kataku kepada mereka.

“Saya pikir, tidak usah Pak Arland, karena kami telah menyiapkan semua pakaian dan kebutuhan Bapak di kantor,”tambah salah seorang lelaki dari kelompok itu sambil memegang tangank kananku.

Sejenak aku memandangi mereka, tidak terlihat di wajah mereka gelagat sekelompok teroris yang ingin menculikku. Oleh sebab itu, aku menurut saja apa yang mereka inginkan. Selain itu, aku juga tidak menolak ajakan mereka, malah aku seperti baru bermimpi. Akan tetapi, anehnya keluargaku terutama ibuku telihat sedih saat aku keluar rumah dan naik di mobil van putih. “Ada apa dengan ibuku?” kataku dalam hati.

Seketika aku aku teringat dengan Dina-ku. Aku kemudian membuka kaca samping mobil dan berteriak histeris, “Ibuuuu tolong jaga Dina-ku!”

Seketika itu pula dua orang yang duduk dekatku memegangku erat-erat tangan dan tubuhku yang meronta-ronta. Tiba-tiba, “Juss” tanganku ditusukan sebuah benda yang berisi cairan. Setelah ditusukkan benda itu ke tubuhku, aku menjadi lemas dan tidak sadarkan diri.

Aku baru terjaga ketika samar-samar terdengar suara orang-orang yang berbicara berbagai hal. Ada yang berbicara mengenai ketentaraan, musik, artis, teroris, pengusaha, bank, memancing, dan lain sebagainya. Akan tetapi, begitu terkejutnya aku ketika membuka kedua mataku. “Di mana aku berada?” hatiku berkata. Kulihat di jendela kamar yang terbuat dari kaca tembus pandang, di sana kulihat orang-orang sedang berhimpitan di depan kaca jendela, memandang ke arahku. Kemudian, aku berjalan ke arah pintu dekat jendela kaca itu. Kucoba menbuka pintu itu, tetapi ….”Hei, mengapa pintu ini terkunci?” aku teriak dengan keras. Lalu, tidak lama kemudian orang-orang berpakaian putih-putih berdatangan. Mereka membuka pintu kemudian masuk secara perlahan-lahan. Sementara itu, orang-orang yang tadinya berkerumun di depan jendela spontan menghilang begitu saja. Kemudian, kulihat tiga orang berpakaian putih itu memandangku dengan tatapan tidak bersahabat, seolah-olah mereka akan menerkamku.

“Siapa sebenarnya kalian? Kalian akan mencelakaiku?” tanyaku kepada mereka.

Ketika mereka hendak maju tga langkah, tiba-tiba datang seorang wanita yang kukenal tadi siang, wanita yang mengaku utusan dari bank di mana tempatku bekerja dahulu. Wanita itu kemudian memberi aba-aba dengan mengangkat telapak tangan kanannya kepada ketiga orang laki-laki itu. Spontan saja ketiga orang laki-laki itu mundur kembali seolah-olah tangan wanita itu memiliki kekuatan. Kemudian, wanita itu berkata kepadaku dengan lembut.

“Maaf Bapak Arland, kami tidak bermaksud menyakiti Bapak! Kami hanya ingin melayani segala kebutuhan Bapak,” kata wanita itu dengan sopan.

“Oh, begitu. Kalau begitu kapan saya dapat langsung bekerja, Bu? Lalu, mengapa saya dibawa ke sini?” kataku meminta penjelasan wanita itu.

Wanita itu terdiam sejenak sambil memandangi ketiga rekannya itu. Kemudian, wanita itu baru memberikan penjelasannya.

“Begini Pak Arland, saat ini bank di mana kita bekerja sedang mengadakan pelatihan pemantapan bagi para manajer di tempat ini. Akan tetapi, Bapak jangan khawatir segala kebutuhan Bapak akan di penuhi oleh perusahaan,” jelas wanita itu.

“Oooo begitu. Kalau begitu, boleh saya mengajukan permohonan?” tanyaku kepada wanita itu.

“Oh, silakan Bapak Arland!” kata wanita itu sambil merogoh pulpen dan secarik kertas yang ada di saku seragam putihnya. “Baik. Apa kebutuhan Bapak?”sambungnya kembali.

“Pertama, tolong Ibu antarkan Dina-ku ke mari! Kedua, perbolehkan saya untuk keluar dari ruangan ini,” kataku dengan tegas.

Wanita itu mengeryitkan dahinya, kemudian ia berunding dengan ketiga laki-laki berpakaian putih itu. Kemudian, wanita itu menyanggupi permintaanku dan aku dipersilakan untuk berjalan-jalan keluar kamar yang kutempati itu. Aku berjalan menyusuri bangunan yang serba putih itu untuk menghilangkan kantukku. Akan tetapi, ada sesuatu yang ganjil, seperti ada beberapa orang yang mengikutiku. Kemudian, orang tersebut menghampiriku.

“Hai, Bung siapa Anda dan mau apa kesini? Apakah Anda ingin memata-matai kami? Tidak usah malu-malu, Anda tinggal sebut FBI, CIA, atau Interpol!” kata orang yang orang setengah tua dan berpakaian tentara yang disebut oeh temannya bernama Pak Kapten.

“Mungkin juga kamu ini penembak misterius atau teroris?”kata seorang pemuda yang berpakaian Michael Jackson.

“Sepertinya saya kenal dengan wajah Anda! Kalau tidak salah Anda yang merampok uangku yang tiga miliar itu,”kata orang yang memakai jas dan dasi serta membawa koper besar.

“Nah, ini dia orang yang selalu membuat tempat memancingku rusak! Ayo, mengaku saja, kamu –kan yang mengambil ikan dengan bom?” kata orang yang memakai topi besar dan membawa alat-alat memancing.

“Ini dia yang menodaiku! Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab,” kata seorang nenek yang berpakaian seksi.

“Sabar, Bapak-Bapak dan Ibu. Saya di sini bukan seperti yang kalian tuduh. Saya di sini sedang training menjadi manajer bank yang handal,” jelasku kepada mereka.

Aku sebenarnya takut mendengar tuduhan orang-orang itu, tetapi aku mencoba menjelaskannya.

“Wah, kita kedatangan orang hebat!” kata orang yang membawa koper, “Saya minta Pak Kapten untuk mengawalnya, keamanan uang saya di bank bergantung padanya!” sambung pria itu.

“Siap! Siap, Pak Direktur!” kata orang berseragam itu sambil memberikan hormat kepada pria yang disebut Pak Direktur.

“Kalau begitu saya bisa pinjam uang untuk biaya memancing dari bank yang Anda pimpin, dong?” kata orang yang membawa alat-alat pancing itu.

Sejak saat itu diperlakukan seperti orang penting di dalam komunitas yang menurutku kumpulan orang-orang profesional dan terlihat disiplin dengan tugasnya masing-masing. Di tempat itu aku sangat dihormati dan disegani. Aku sangat bahagia bergaul dengan mereka karena mereka terlihat jujur, tidak pernah ada kesan dusta, iri, apalagi menyakiti satu sama lainnya, yang pasti kami saling mendukung, dengan kondisi itu aku hampir melupakan gitar Dina-ku.

Dua minggu sudah kulalui hari-hariku di tempat serba putih itu. Bahkan pada minggu kedua ini orang tuaku datang bersama seorang gadis cantik yang menangis sambil membawakan gitar Dina-ku, wanita itulah Dina sebenarnya. Ia malah berkata akan selalu menantiku sampai aku sembuh dari sakitku. Aku sebenarnya telah menyadari di mana saat ini aku berada. Maafkan aku Dina, aku belum siap untuk menghadapi dunia nyata, dan melupakan segala yang pernah kualami. Dunia yang memaksaku untuk berada di tempat ini. Di sini aku mendapatkan ketenangan walaupun saat ini aku harus berpura-pura menjadi komunitas mereka, komunitas orang-orang yang belum siap menerima dunita nyata. Akan tetapi, suatu hari nanti aku akan menemuimu, Dina. Aku akan berkata, “Dina sabarlah! Aku Arland Pernandes akan menyuntingmu!” Akan tetapi, tidak untuk saat ini, mungkin sehari lagi, seminggu lagi, sebulan lagi, atau setahun lagi aku keluar dari Rumah Sakit Jiwa ini.

Bandung, 14-06-2006

Di malam yang dingin pada saat musim kemarau.

No comments: