Thursday, December 21, 2006

galeri puisi

Does Love Exist?


Does Love Exist?

Ketika seorang ibu merelakan nyawa.

Menghantarkan buah hatinya.

Menghirup wanginya kehidupan.

Tanpa sedikit pun keraguan.


Does Love Exist?

Ketika seorang ibu menyenandungkan jiwa.

Menidurkan impiannya.

Bersama redupnya kehangatan.

Tanpa sedikit pun keresahan.


Does Love Exist?

Ketika seorang ibu menyambut pagi.

Merapikan dunianya.

Di saat bulan enggan pergi.

Tanpa sedikit pun keluhan.


Does Love Exist?

Ketika seorang ibu menatap matahari.

Merayap pergi di kala senja

Dengan meninggalkan kehangatan.

Tanpa sedikit pun penyesalan.

By

The sweetest angel on the earth

kamar cerpen

Bolero

By: N’no Hangwee

Aku hanya bisa terduduk lemas di samping Bunda yang terbaring dan penuh luka… bukan hanya luka tapi aku tahu persis, dia tak mungkin bisa pulih seperti semula. Aku lelah setelah berteriak-teriak, merebut obat dari suster dan akhirnya aku harus berebut dengan pasien lain. Aku benar-benar tidak percaya hari ini benar-benar terjadi dalam hidupku. Aku berharap ini hanya mimpi… tapi aku tidak bisa memutar waktu kembali. Andai waktu dapat kuputar kembali mungkin aku tidak akan menunda perjalanan kami ke Jakarta untuk menengok kakakku yang baru saja melahirkan. Kulihat kondisi kesehatan Bunda sedang tidak fit, lagi pula kakakku masih berada di rumah sakit, aku tidak tega jika harus membawa Bunda keluar masuk rumah sakit… Bunda tidak suka bau rumah sakit, karena Bunda pernah dirawat begitu lama dengan menahan sakit, stress menghadapi amputasi yang harus dijalaninya. Aku yang memutuskan semuanya. Aku putuskan menunda sampai hari minggu. Dan siang ini rencananya aku ingin membawa Bunda ke dokter. Tapi Bunda justru terbaring di halaman rumah sakit di bawah terik matahari.

Sabtu, 27 Mei 2006 Pagi

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Aku menyiapkan air panas untuk Bunda mandi. Sambil menunggu Bunda selesai mandi, aku merapikan rumah. Maklum kami tidak punya pembantu, hanya mbak Marni, suster Bunda yang selalu mengurus Bunda dari pagi sampai sore selama hari. Catering selalu datang sebelum setengah tujuh pagi.

Selesai mandi, Bunda duduk di ruang tengah. Di ruang tengah kami terdapat taman, tempat anggrek-anggrek Bunda tumbuh, kolam yang berisi dua ekor ikan koi, dan juga air mancur yang aku buat sesuai keinginan Bunda. Aku masuk ke kamar setelah melihat Bunda mulai asyik membaca koran. Selesia mandi aku mengenakan celana Capri dan tank top dengan bolero biru kesayanganku yang dipilihkan Bunda untukku saat kami ke Bandung. Seperti biasa, setiap pagi aku berdoa. Selain mengucap syukur aku juga selalu memohon kesembuhan Bunda. Aku tidak ingin masa tuanya dilewatkan hanya dengan pergi ke dokter dan rutin minum obat.

Di saat aku berdoa, aku merasakan kepalaku sedikit pusing, badanku seperti melayang. Saat aku membuka mata bersama itu pula lukisan di dinding kamar jatuh, foto-foto, dan buku-buku berjatuhan…. Rumah kami seperti bergoyang ke kiri dan ke kanan. Aku baru menyadari ini gempa. Dan bukan gempa biasa! Aku mendengar Bunda berteriak-teriak memanggilku…

“Nita…! Nita…! Gempa! Nitaaa!”

Aku semakin panik.. aku berusaha membuka pintu kamar tapi tidak bisa, padahal aku tidak menguncinya… aku melihat sekeliling. Berantakan! Dan sudut-sudut dinding kamarku retak.

“Bun… Nita nggak bisa keluar!”

“Mbak Dewi!” aku memanggil kakak iparku, tapi tidak ada jawaban.

“Nitaaa!” Kudengar suara Bunda makin parau dan ketakutan. Aku semakin panik. Aku angkat kursi dan kudobrak pintu sampai akhirnya terbuka. Aku segera berlari ke arah Bunda yang sedang mencoba berjalan merayap ke dinding dengan tertatih… Aku tidak menyangka di luar kamar lebih berantakan. Eternit sebagian runtuh. Bunda menuju pintu samping melalui dapur… aku segera berlari ke arahnya.

“Bunda!” Bunda tidak menoleh dia terus berjalan berpegang dinding rumah. Saat Bunda melewati pintu samping, braakkkkk! Terdengar suara benda jatuh dengan keras.

“Bundaaaa! Aku segera melompat.

Tapi terlambat, kulihat Bunda sudah tergeletak dan potongan bagian depan atap teras samping telah menimpa badannya. Kudengar orang-orang berlarian menuju ke arah jalan raya. Rupanya para tetangga yang berdiri di jalan dan melihat Bunda tertimpa atap menjerit dan meneriaki kami agar segera pergi. Bagaimana kami bisa pergi sedangkan Bunda tertindih atap dan mereka tidak mau datang menolong! Aku langsung mengangkat bagian atap itu dari atas tubuh bunda. Dan aku segera mengangkat Bunda menuju ke jalan. Tempat orang-orang yang sedang berlari kearah kami, seolah ingin memberi pertolongan. Kenapa pertolongan selalu datang terlambat? Ke mana mereka tadi? Kakak dan kakak iparku kulihat telah berjejer di antara orang-orang itu bersama anak-anak mereka. Keterlaluan! Mereka tahu Bunda masih berada di dalam tetapi kenapa tidak berusaha membawa bunda?? Mas Anton kakakku berusaha meraih Bunda dari tanganku.

“Sini Ta!”

“Buat apa?! tidak usah! Percuma! Kau puas sekarang lihat Bunda begini! Kamu tahu Bunda masih di dalam kenapa malah menyelamatkan diri kamu sendiri?” AKu berkata sambil menangis keras. Bunda pingsan dalam gendonganku. Pak Benny meraih Bunda dari tanganku.

“Aku panik Nit, aku bener-bener nggak ingat!”

“Tidak usah alasan! Dari tadi Bunda berteriak-teriak, nggak mungkin kamu nggak denger!”

“Sudahlah, tidak ada gunanya saling menyalahkan, sekarang bagaimana kalau kita bawa Ibu Tuti ke rumah sakit,” kata Bu Niken.

“Braaakkkk!” Suara-suara itu terus terdengar seperti bersahut-sahutan…satu-demi satu rumah roboh. Gempa telah reda.

Aku merasakan kakiku sakit. Ternyata kakiku berdarah karena tertusuk paku dari eternit yang berserakan.

Baru aku sadari tidak hanya bundaku yang terluka, tetapi Melza anak kecil yang bioasa kugoda itu kepalanya berdarah dan pipinya lecet-lecet. Ibunya memeluknya sambil menangis. Perih sekali kelihatannya. Aku hanya menatapnya sambil menahan isak tangis. Perasaan marah, ketakutan, penyesalan, bercampur jadi satu. Saat itu terlihat orang-orang datang sambil membopong beberapa tubuh.

Ternyata orang-orang yang ditolong tersebut sudah meninggal. Mereka kost di Mawar II/no. 7. Mereka sedang tidur pulas saat terjadi gempa. Tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan.

Akhirnya kami membawa Bunda ke rumah sakit Bethesda. Di sana telah banyak sekali pasien yang dirawat. Kami tidak bisa masuk, justru pasien-pasien berhamburan keluar dari dalam rumah sakit. Berdasar informasi kondisi rumah sakit pun mengkhawatirkan, mereka takut tertimpa bangunan jika gempa kembali datang. Semua wajah terlihat sangat ketakutan. Tidak ada yang bisa ternyum sedikitpun. Semua orang membayangkan hal yang terburuk yang akan terjadi. Aku pun merasa kejadian ini tidak berhenti sampai di sini.

Aku membersihkan luka Bunda dengan boleroku. Setiap kali aku memakai bolero ini Bunda selalu tersenyum lebih manis dibanding biasanya. Bunda bilang aku cantik.

Saat para perawat datang, kami meneriaki mereka. Aku mengejar seorang suster,

“Suster, tolong Ibu saya sus, dia pingsan!”

“Maaf, mbak, di sini pasien kami sangat banyak. Tapi mbak jangan khawatir nanti pasti Ibu mbak dapat giliran dirawat. Kami sedang mendahulukan korban yang kritis dan luka berat.”

Aku terus mengikuti langkah suster itu.

“Tapi sus, Ibu saya juga terluka parah, dia tertimpa atap rumah, sus…” aku menangis keras.

“Iya, mbak sabar aja.”

Mendengar kata-kata suster dadaku sesak. Aku harus sabar?

“Bunda saya sudah tua mbak! Saya takut ada tulangnya yang patah.”

Tapi suster itu sudah tidak menghiraukan aku lagi. Dia sibuk menolong salah satu pasien yang sangat mengenaskan. Mata kirinya berdarah dan lebam. Daging bagian lengan kiri atas menganga. Daging yang tersobek terlihat jelas. Telinganya pun mengeluarkan darah kental dan pekat. Tubuhku terasa gemetar. Aku nyaris menjerit melihatnya. Seorang laki-laki menangis seperti anak kecil di sampingnya. Aku ingin sekali bertanya kenapa bisa sampai begitu? Tetapi kubatalkan. Seorang Ibu datang dan menangis memeluk lelaki itu.

“Kamu harus ikhlas, ya nak? Ferry sudah pergi!” kata ibu itu.

Tangis lelaki itu semakin keras. Dia segera merebahkan kepalanya dekat kepala istrinya itu. “Ma, Ferry udah ninggalin kita, Ma! Kamu jangan tinggalin aku! Aku sama siapa, Ma?! Ferry Ma… Ferry…! Kita nggak jadi nganterin dia masuk TK, Ma! Dia nggak jadi sekolah Ma!” lelaki itu terus menangis sambil berteriak-teriak memanggil nama Ferry. Ibu itu memeluknya dari belakang.

Aku tidak kuat mendengar tangisan mereka. Aku baru sadar sejak tadi aku berdiri di sini seperti tersihir.

Aku segera kembali ke tempat Bunda terbaring beralas kasur yang diambil Mas Anton dari dalam rumah sakit. Pasien semakin banyak dan terus berdatangan. Ada Ibu yang sedang hamil dan mengalami pendaharan. Saat aku mendekat ke arah Bunda melintas di depan kami beberapa orang membawa korban dengan kepala hampir putus. Aku tidak tahan melihat ini semua. Aku memeluk kakak iparku. Aku tidak mengerti dengan semua ini. Kami seperti ada di alam lain, bukan di Yogya yang damai.

Aku menutup dahi Bunda dengan boleroku. Hari semakin siang, perawat itu belum juga menghampiri kami dan merawat bunda. Kepalaku pusing mendengar banyak jeritan kesakitan di sana-sini.

Aku coba menghubungi dokter bunda. Tapi dia sedang berada di Semarang. Aku putus asa. Ketika ada seorang perawat yang lewat, aku meminta supaya Bunda didahulukan, tapi dia tidak bersedia karena harus merawat pasien yang luka berat. Seorang keluarga pasien lainnya ikut memohon. Aku merebut obat-obatan itu darinya. Plester, perban, rivanol, bethadine aku rebut darinya. Tapi Ibu disebelahku merebut dan mengambil bethadine dan perban, kami saling berebut. Perawat itu akhirnya kembali masuk ke dalam rumah sakit.

Kami mengobati bunda. Aku membersihkan luka lecetnya. Paha kanan Bunda lebam. Mas Anton pun bercerita saat dia mengambil kasur dan selimut dari dalam rumah sakit, dia berebut dengan seorang Ibu, tentu saja Mas Anton yang menang. Memang disaat seperti ini rasanya semua orang menjadi egois. Kami semua korban, dan kami ingin tertolong. Aku pun membersihkan luka bekas paku yang menusuk telapak kakiku.

Sabtu, 27 Mei 2006 Sore

Aku melihat Bunda sudah terlihat lebih baik. Bunda tidak merintih lagi. Lukanya sudah aku bersihkan. Akhirnya kami semua saling membantu, tentu saja pasien dengan luka ringan. Bahkan aku dan Ibu yang berebut obat denganku pun saling menolong.

Sabtu, 27 Mei 2006, Malam

Tersiar kabar bahwa akan terjadi lagi gempa susulan malam ini. Kami semua bersiap. Malam ini Bunda mendapat giliran dirawat setelah berkali-kali aku memohon. Menurut perawat itu, kaki kanan Bunda patah. Aku merasa terpukul walau telah menduga sebelumnya. Aku menangis dan meminta maaf pada Bunda. Aku merasa bersalah atas semua yang terjadi. Bunda hanya tersenyum dan mengusap rambutku. Kami semua bermaaf-maafan.

Aku membetulkan bolero yang menutup dahi dan telinga Bunda supaya tidak dingin. Ternyata gempa yang kami khawatirkan tidak terjadi, hanya gempa-gempa kecil.

Minggu, 28 Mei 2006, Pagi

Semalam, kami semua tidak tidur. Selain karena rintihan dan jeritan pasien masih terdengar, kami juga khawatir terjadi gempa dahsyat lagi. Semua takut terjadi tsunami, aku pun sempat merasa khawatir. Aku mencari minuman hangat. Aku membawakan teh manis hangat dan sedotan untuk Bunda.

“Bunda… ini teh hangat, diminum dulu.”

Aku mengarahkan sedotan itu ke bibir bunda. Bunda tersenyum, tangannya meraih tanganku. Dia membisikkan sesuatu. Aku mendekatkan telingaku.

“Hati-hati ya, Nita.”

Tangan Bunda menggenggam erat tanganku. Bunda memejamkan matanya sambil tersenyum. Genggamannya kurasakan semakin kuat. Matanya masih terpejam dan bibirnya masih tersenyum. Sesaat kemudian aku menyadari tangan Bunda tak bergerak. Dan setelah kulihat badannya tidak bergerak naik turun, aku terkesiap.

“Bunda.” Aku mencoba memanggilnya. Sama sekali tidak ada reaksi.

“Bundaaaaa….!” Aku mengguncang tubuhnya.

Aku terus memanggilnya, walaupun aku tahu Bunda sudah pergi.

Aku memanggil Mas Anton sambil berteriak berkali-kali. Dia tidak muncul juga.

Setengah jam berlalu Mas Anton belum juga dating.

Setelah perawat mengurus jenazah bunda, Mas Anton baru datang.

Dia menangis dan memanggil-manggil Bunda. Tangisku pun semakin menjadi dan kami berpelukan. Sebenarnya aku ingin marah. Berkali-kali aku bilang kalau pergi keluar jangan terlalu lama.

Minggu, 28 Mei 2006, Siang.

Dengan memakai bolero biru dari Bunda, aku mengantar Bunda ke peristirahatan terakhirnya. Bolero ini meninggalkan kenangan yang menyakitkan untukku. Aku tidak akan mencucinya, aku akan menyimpannya sebagai salah satu kenangan dari Bunda. Bolero ini menyisakan noda dari luka Bunda. Tapi kuharap luka hati Bunda pada Mas Anton yang ditahannya sekian tahun telah sembuh. Aku gagal memperbaiki hubungan mereka.

Selasa, 30 Mei 2006 Pagi

Aku telah tiba di Jakarta. Kutinggalkan Yogya yang porak poranda. Kutingalkan semua kenangan buruk itu. Tetapi, tetap saja hati dan pikiranku tidak bisa lepas dari Bunda. Aku selau memikirkannya. Akulah yang bersalah. Seandainya aku tidak menunda perjalanan kami. Mungkin saat ini kami masih bisa saling bicara dan bercanda….

Tuesday, December 19, 2006

galeri puisi

Umiku Sayang

Leni Ariani

Diam, tenang…

Tersungging di bibirmu senyuman manis

Cantik..cantik sekali

Secantik hatimu


Umi…


Bukalah matamu

Lihatlah diriku

Aku tersenyum untukmu

Manis bukan senyumanku?


Kekasihku..


Mengapa lidahku kelu?

Aku tak dapat mengucapkan asma-Mu yang agung

Mengapa Kau tegur aku dengan cara seperti ini

Apakah tak ada cara lain untuk menegur didiku atas kalalaianku?

Tidak untuk orang yang kucintai


Tetapi….


Trguran-Mu membuahkan kerinduan

Saat Kau belai aku dengan sayang-Mu

Saat Kau dekap aku dengan cinta-Mu

Semuanya begitu indah…


Kekasihku…


Aku titipkan Umi

Dalam sujud panjangku…

Dari Ceuceu untuk Umi

Monday, December 18, 2006

galeri puisi

Perempuanku

Matt

Perempuanku….

Lelaki ini padam mata nyala

Gamang jalan terang

Resah senja kala

Namun angan garang meradang

Perempuanku….

Lelaki ini luluh lantak

Serapah menyakiti kulit ari

Mimpi retak terpetak-petak

Tiggal hati kuberi sebagai janji

Perempuanku….

Kesima ampura

Ini lelaki

Mengharapmu sebagai istri

Bandung, 9 April 2005

kamar cerpen

Sketsa Topeng

Matt

Apa yang aku cari dalam hidup ini? Aku tak tahu, bahkan jalur hidupku pun remang-remang. Aku seolah boneka hidup yang dibentuk oleh tangan ibuku lewat cetakan yang terbuat dari idealisme overproteksinya. Namun seminggu yang lalu, sepasang mata melumat habis kabut pikiranku yang selama ini mengutukku sesosok makhluk introvert. Seolah musim semi di hatiku, tatapan itu melelehkan hatiku yang beku dari masim dingin kepanjangan. Bunga-bunga tengah bersemi indah saat senyumnya tersungging di seraut wajah mungil, putih bersih, meski tanpa polesan bedak.

Lukisan wajah di langit-langit kamarku yang selalu kulukis setiap malam mulai kutuangkan dalam sebuah kanvas. Ya, gairahku kembali bersemi seperti bebunga di hatiku. Kini aromanya telah merasuk alam pikirku dan mendidihkan imajinasiku dan harus aku tuangkan, harus!

***

Entah harus berapa lama lagi aku pasang topeng ini? Pegal rasanya memasang senyum di wajahku yang usang. Entah harus berapa lama pula aku usung bayangan masa laluku? Padahal waktu tak pernah mau menunggu. Hari itu... aku masih ingat dengan jelas sesosok tubuh yang terbalut kafan dimasukkan perlahan ke dalam liang lahat, hingga akhirnya para penggali kubur menimbunnya dengan tanah coklat berlumpur oleh rintikan hujan. Seorang ustadz mengakhiri upacara pemakaman dengan rentetan nasihat dan do’a yang hampir tak bisa kudengar karena riuh angin yang menerpa pepohonan bambu serta pikiranku yang masih tak berkompromi dengan kenyataan. Gelegar guntur bersahutan seolah mewakili jeritan hatiku yang tak mampu memahami semua ini. Air mataku membuncah deras namun habis dilumat hujan yang semakin menderas. Rasa pedih, sakit, dan ketidakmengertian telah menggusur kehangatan dan keceriaanku ke dalam tanah cokelat berlumpur waktu itu.

Setelah hari kematian Mama, mentari tak mampu lagi menghangatkanku meski setiap pagi menerobos masuk tanpa permisi lewat jendela kamar. Namun benih antipati terhadap makhluk bernama Adam berfotosintesa dan tumbuh subur. Setiap laki-laki adalah sama, sejenis dengan Papa, orang yang paling Mama cintai dan pula yang menggiringnya ke liang lahat. Terkubur bersama keceriaanku, membuat hatiku beku. Hari-hari kulalui dengan topeng yang kupampang rapi menutupi gari-garis wajahku yang kusam dan kaku meski kuakui aku lelah.

***

Hari itu... adalah hari di mana mentari terbit kembali di hatiku. Seraut wajah membuat hatiku kembali berbunga. Hamparan salju telah berubah menjadi hamparan padang rumput yang menghijau. Wajah itu tak mampu kulupakan, menyulut api imajinasiku hingga berkobar membakar kepala dan seluruh pikiranku. Dia adalah inspirasiku, auraku. Namun, kenapa sulit sekali aku tuangkan ke dalam kanvas putih ini? Apakah harus kutuangkan dengan cat emas atau serbuk bebatuan berharga dari seluruh dunia? Yang dirampas dari para raja ataupun kaisar? Kedua tanganku seolah asing dalam meretasi garis-garis wajah itu, padahal aku masih menyadari kepiawaianku.

Hampir tiga jam aku pandangi kanvas putih ini yang telah berlepotan dengan garis-garis taksa. Biasanya aku begini jika tidak mood. Ya setiap seniman harus ada mood untuk berkarya karena ini berurusan dengan estetika. Jiwa dan pikiran harus menyatu untuk mencapai muse dan bersublimasi menuangkan nyanyian dewa dewi dan segala bentuk keindahan surga. Namun kali ini beda. Rupanya aku hanya mampu melukiskannya di langit-langit kamarku. Mungkinkah karena matanya yang mati atau senyumnya hanya topeng belaka?

***

Aku tidak berarti apa-apa sekarang. Selain topeng yang kukenakan, kini akupun boneka yang dikendalikan oleh rasa kecewaku atas kenyataan dan trauma masa lalu. Kekecewaan yang kudapat dari orang yang seharusnya aku hormati dan patuhi semakin menghisapku ke lembah egoisme keakuan yang kronis. Pandanganku cukup satu arah, Papa salah, ia penyebab kematian Mama, dan aku sangat kangen Mama. Meskipun ia berulangkali memohon maafku dan jelas benar rona penyesalan terpancar di matanya. Aku percaya sinar mata tak pernah berbohong, namun penyesalan Papa tak mampu mencairkan suasana seperti dahulu, karena keceriaanku telah terkubur bersama jasad Mama.

Kenapa... kenapa makhluk bernama Adam harus berbagi cinta dengan lebih dari satu Hawa, sedangkan Hawa hanya mendambakan satu Adam untuk melabuhkan satu-satunya perasaan dan hatinya? Kenapa pula Hawa mendambakan sesosok Adam sebagai penjaga hatinya? Padahal ia tahu sifat fitrah sang adam, seperti aku yang mulai merasakan kesunyian dan kehampaan hidup. Jauh di dasar hatiku, di belantara antipatiku, aku diam-diam mendambakan seorang pangeran berkereta kencana menjemputku dan membawaku ke istananya. Namun bangunan persepsi yang terbangun dari tumpukan egoku selalu menghalangiku hingga aku terbentur ragu. Seperti keraguanku pada pandangan sepasang mata yang menubrukku hari itu. Dan kemarin tanpa sengaja sepasang mata itu singgah kembali di otakku lewat saraf optik. Ada cahaya ketulusan yang terpancar di sana dan menyadarkanku bahwa aku adalah sesosok hawa, sebenar-benarnya hawa dengan segala kekurangannya.

***

Kemarin pandanganku kembali tertumbuk pada sepasang mata berbulu lentik. Rupanya kali ini cahaya mataku diizinkan singgah. Namun bibir mungilnya tetap terkatup, seperti bibirku yang enggan terbuka, lidahku kelu seolah beku. Hanya dua pasang mata yang bicara hingga akhirnya kutundukkan pandangan karena itu syaitan kata ibuku. Kiranya segala ajaran dan kedisiplinan yang kudapat dari Ibu cukup kuat menghuncam. Sejak ayah pergi bersama mimpinya, Ibu bertugas menggantikan ayah sebagai kepala keluarga tanpa meninggalkan sejengkal pun fitrahnya sebagai seorang ibu.

***

”Papa mau menikah lagi?!”

”Ya, sayang. Papa mohon restumu.”

Untuk beberapa saat aku diam tak menjawab. Pikiranku mengawang. Entah aku harus bicara apa. Apakah Papa akan menggali lubang kesalahan yang sama? Berpaling dari pasangannya dan mengejar sekilas pandangan seperti dulu yang dilakukannya pada Mama.

”Dengar, sayang, dulu Papa memang salah telah berpaling dari Mama, karena sepasang mata telah mencuri perhatian Papa dari Mama. Papa juga sadar kamu sangat kecewa akan renggangnya hubungan kami hingga memudarkan keharmonisan di tengah kita. Dan akhirnya leukemia meredakan permusuhan kami. Namun Mama harus pergi untuk selamanya.”

Air mataku tak kuasa kutahan. Bayangan Mama berkelebatan dalam benakku. Aku masih ingat waktu ulang tahunku. Mama menghadiahiku beberapa lembar uang ribuan, sambil tersenyum Mama menyodorkannya kepadaku. ”Maafin Mama, Sayang, Mama tidak sempat membeli kado buatmu.” Kulihat wajah Mama semakin pucat dan tampak lelah. Sambil mengecup keningku Mama menyalamiku ’selamat ulang tahun’. Betapa bodoh dan polosnya aku waktu itu, kau tak menyadari bahwa itu adalah ucapan selamat ultahnya yang terakhir.

”Papa sadar, Papa salah, Papa menyesal, Sayang. Papa tahu kamu sangat merindukan Mama, dan Papa pun tahu kamu sangat kecewa dan membenci Papa, Papa pun merasakan hal yang sama, tapi itu tidak akan mengembalikan Mama ke tengah kita lagi. Waktu untuk Mama telah usai dan hidup kita masih terus barjalan. Sayang, izinkan Papa menebus kesalahan-kesalahan Papa, izinkan Papa menyayangimu dan menjagamu, izinkan Papa menghadirkan sesosok mama untukmu.

Kulihat sorot penyesalan dan ketulusan pada sepasang mata yang mulai mengaca, dan semakin jelas ketika buliran air matanya mulai meleleh dan deras membasahi pipinya yang mulai kusam dan lelah. Aku tak sanggup berkata apa-apa selain kerinduan yang tak sanggup kubendung.

”Papa....”

Aku berhambur ke pelukannya. Kubenamkan kepalaku ke dalam pundak Papa. Kulabuhkan segala beban dan lelahku bersama tangis. Ya harus kuakui aku memang terlalu lelah dengan segala kebencian dan permusuhan ini. Papa memang benar roda hidupku masih berputar, tak seharusnya kusiakan karena kecewa yang berkepanjangan.

”Papa harus janji....hiks... pernikahan ini adalah yang terakhir... hiks... aku tidak ingin mengalami hal yang sama, Pa... hiks... sakit....”

Papa tidak berkata apa-apa, namun pelukannya semakin erat.

***

Beberapa hari ini kebekuan di wajah Ibu semakin meleleh. Kini perlahan kurasakan kehangatan mentari pagi memancar di sana. Hingga suatu ketika Ibu memanggilku karena ada sesuatu yang ingin ia diskusikan.

”Al, bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang mau melamar Ibu?”

Aku sedikit kaget mendengar pertanyaan Ibu. Aku kira Ibu akan terus menerus tenggelam dalam kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap laki-laki.

”A-Alif, setuju aja, Bu. Asalkan Ibu bahagia, tapi apa Ibu sudah yakin dengan pilihan Ibu ini?”

”Al, sejujurnya Ibu masih trauma dengan kejadian dulu, tapi insya Alloh, kali ini yang terbaik. Ibu pun telah mempertimbangkannya lewat istikharoh.”

Aku sebenarnya senang jika Ibu menikah lagi. Dengan begitu Ibu tidak perlu melewati hidupnya yang mulai beranjak senja dengan sepi di dalam kesendirian.

Setidaknya Ibu telah menemukan labuhannya. Lalu bagaimana dengan diriku? Aku masih bermain-main dengan seraut wajah itu. Seraut wajah yang telah menyita waktu dan perhatianku. Tak ada yang ingin aku lukiskan selain seraut wajah yang selalu tergambar di langit-langit kamarku. Tiba-tiba tekadku untuk menyelesaikan lukisanku menyala kembali. Aku harus menyelesaikannya.

Kukerahkan segala rasa, inspirasi, dan intuisiku, dan kusalurkan pada kuas, kugoreskan di atas kanvas yang berisi seketsa wajah, yang selalu gagal aku tuntaskan. Kini aku benar-benar bertekad untuk menyelesaikannya. Seharian penuh aku mengunci diri di dalam kamar demi terciptanya karya terbaikku. Lukisan purnama hidupku.

***

Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu Ibu pun tiba. Aku hanya mengenalnya sekali saat laki-laki itu melamar Ibu. Ia datang sendiri tanpa ditemani siapapun. Waktu itu ia hanya mengenakan kemeja putih dan celana panjang abu-abu. Lipatannya tampak licin, mungkin karena sering disetrika. Setelan jas hitam beludru menggantung di tubuhnya yang bulat. Senyumnya ramah saat menyapaku. Sorot matanya memproyeksikan kebijaksanaan dan kewibaan seorang lelaki dewasa yang telah banyak merasakan pahit getir dan manisnya hidup. Dan detik-detik ini adalah salah satu pengalaman manisnya yang akan segera ia rasakan untuk menghadapi masa-masa sulit yang akan datang.

Setelah beberapa menit berlalu, rombongan pengantin laki-laki tiba. Namun ia hanya ditemani seorang perempuan. Seseorang yang... masya Alloh wajah itu....

***

”Ya Tuhan, lelaki itu... bukankah aku pernah bertemu dengannya?” aku sontak kaget dengan kenyataan yang ada di depanku. Aku dan Papa terus melangkah menuju singgasana calon Mamaku. Langkah Papa berderap penuh bangga dan bahagia. Tapi perasaanku berkecamuk tak tentu.

***

Upacara pernikhan diadakan sederhana dan hanya mengundang kerabat terdekat dan beberapa kenalan dari keduabelah pihak. Di sela-sela gemuruhnya lantunan nasyid dan obrolan para tamu, aku memberanikan diri untuk menyapa anak dari seorang lelaki yang telah syah menjadi ayah tiriku beberapa menit lalu.

Ia menghampiriku, lalaki yang kini mejadi saudara tiriku. Ia tersenyum ragu dan tatapan kedua matanya selalu berpaling setiap kali kami beradu pandang.

Assalamu’alaikum...” ia menyalamiku.

Wa’alaikum salam...” balasku.

”A-aku punya sesuatu untukmu, bisa ikut aku?”

Aku tak berkata apa-apa hanya mengangguk dan mengikutinya dari belakang.

Aku dibawanya ke ruang belakang. Sebuah ruangan yang sarat dengan bau cat dan minyak. Kaleng-kaleng kosong ditata sembarangan, kertas-kertas dan bingkai kosong berserak di lantai dan segala penjuru. Ia membimbingku menuju sesuatu yang ditutup kain putih. Ia menatapku sejenak, kemudian tersenyum. Tanpa berkata apa-apa ia pun menyingkapkan kain putih itu. Dan kulihat jelas sebuah maha karya yang terpagut di atas kanvas, sebuah lukisan dengan polesan dan paduan warna yang sempurna, sebuah lukisan wajah yang indah... itu lukisan wajahku!

”Itu adalah karya terbaikku. Aku telah mengerahkan segala kemampuanku untuk membuatnya. Kamu tahu? Sebelum aku tuangkan ke atas kanvas aku telah lama melukisnya di atas hamparan kanvas kalbuku. Aku melukisnya sejak pertama kali kita bertemu.”

”Hidup ini memang lucu dan aneh, atau mungkin dunia ini yang sempit? Namun yang jelas ini adalah takdir kita.”

”Ya, kita tak pernah bisa keluar dari lingkaran takdir. Dan semoga takdir bisa membawaku pada suatu hari di mana kita bisa berlabuh dalam satu biduk.”

Aku tak sanggup mengatakan apa-apa. Bagiku semua ini cukup membingungkanku. Tapi satu hal yang aku sadari saat ini. Topengku telah pecah berkeping dan senyumku kini adalah nyata senyumku. Senyum yang menyembul dari tungku relung hatiku yang bahagia di tengah kebingungan yang tak kupahami.

Bandung, 26 Agustus 2006

galeri puisi

Aku titip salam dalam derasnya hujan berlalu

Oleh: Robin Ginting

Awan,

Awan-awan putih

Atau kelabu di langit sana

Telah bertumbuh besar semenjak pagi

Ketika angin bertiup semakin kencang

Masih,

Aku masih saja menuggu saatnya hujan

Membasahi bumi dengan rinai-rinai

Akankah bau tanah dan rumput-rumput

Mengingatkan ketika kau dan aku

Larut dalam pegangan tangan

Berlari-lari kecil menghindari hujan

Inilah saatnya,

Sudah hampir sepuluh tahun teman

Namun aku masih saja mengingatnya

Karena untuk pertama kali waktu itu

Aku menengadahkan muka ke langit

Dalam derasnya hujan aku rasakan cintamu

Hujan,

Betapa siklus biogeokimia selalu membawamu

Kembali hadir di sini

Menemani hari-hariku yang semakin terasa panjang

Namun kau tak pernah membawa kekasihku

‘tuk pulang

atau sekedar menitipkan rindu

pada sebuah hati telaga biru

Hujan,

Aku titip salam dalam derasnya hujan berlalu

Bagiku kaulah surat cintaku

Sebagai perantara dengan kekasihku yang dulu

Setiap kali pelangi menyapaku

Aku tahu kau selalu menitipkan salamku

Deru,

Seperti deru hujan berlalu

Deru hari-hariku

Rasa,

Rasa hari-hari berlalu

Bukan seperti rasa tahun-tahun dahulu

Karena bukan lagi titip salam rindu

Kau sampaikan padaku

Rasa air hujan yang pahit tentu bukan rasa rindumu

Bahkan pada satu-satunya bunga yang kau titipkan dulu

Telah layu karena perasaan pahitmu

Layu,

Seperti yang pernah kau sebutkan dulu

Rasa air hujan adalah juga rasa hari-hariku

Aku tahu rasa luka duka dulu

Menambah pahit air hujan di ujung lidahku

Mengapa kulepas luka di hatimu

Sewaktu kita basah di bawah deras hujan waktu itu

Kalbu,

Kelabu seperti hari-hariku

Air hujanmu kuharap kembali membasuh hatiku

Tanpa rasa pahit hanya segar seperti baru

Seperti ketika pertama dulu

Walaupun bukan dengan dirimu

Aku harap setelah deras hujan berlalu

Ada pelangi di ufuk biru

kamar cerpen

Cinta Tak Selamanya Memiliki ....

Oleh: Lina

Kuambil gitar, lalu kupetik satu per satu snar dengan nada yang kupilih, yaitu kunci G. Kunyanyikan sebuah lagu, SAMSON, yang sekarang ini lagi beken.

Aku yang lemah tanpanmu

Aku yang rentan karena

Cinta yang tlah hilang darimu

yang mampu menyanjungku

Selama mata terbuka

sampai jantung tak berdetak

Selama itu pun aku mampu tuk mengenangmu

Darimu .....

Kutemukan hidupku

Bagiku kaulauh cinta sejati

yeee .... hu ..........

“Rot ........ Rot ......... Jarot ....., kamu di mana?” seru Deni.

Teriakan itu mengusik nyanyianku, huh! Dasar bahlul! Senengnya gangguin yang lagi bete. Ada apa dia teriak-teriak? Aku terus ngomel dalam hati, buyar dech semuanya. Belum sempat aku jawab teriakannya, dia sudah berada di belakangku.

“Alah, kau! Aku panggilin kok nggak nyahut, kenapa? Tuch ada telpon dari si Rike!” katanya mengagetkanku. Aku langsung berlari, meninggalkan Deni dan menghampiri telpon yang nggak jauh dari kamarku.

“Huh! Dasar onta! Dari tadi kupanggil nggak nyahut, eh, giliran si Rike telpon langsung saja dia lari!” gerutu Deni.

“Halo?” sapaku dengan suara yang kubuat selembut mungkin (pikirku tumben si Rike ngebel, ngapain? bikin hati aku deg-deg-an aja)

“Halo, Rot? Kamu lagi sibuk nggak? Kalau nggak sibuk antar aku ya, mau nggak?” katanya, dengan nada suara agak sedikit manja.

“Mau ke mana, Rik?” jawabku.

“Ke Gramedia cari buku, kebetulan aku ada tugas, tapi kalau kamu lagi sibuk, nggak usah aja dech,” katanya.

“Eh, Rik, aku nggak sibuk kok, kapan?” kataku (berbohong, padahal tugasku juga masih banyak, tapi demi Rike semuanya akan kulakukan).

“Entar sore kamu jemput aku ya!”

“Oke,” balasku.

Bye.”

Setelah kututup telpon, aku langsung lemas. Duh, Rike ....... Rike ...... jangankan melihat wajahnya, mendengar suaranya saja aku sudah seneng banget. Oh cintaku ....

· * *

Aku akan cerita sedikit tentang Rike. Rike satu kampus denganku aku kenal dia semenjak aku masuk kampus itu. Kurang lebih 1 tahun aku dekat sama dia. Ke mana-mana selalu bersama-sama. Aku tahu makanan favouritnya, kesukaannya, pokoknya apa yang ada padanya aku hafal di luar kepala. Dia orangnya supel, banyak orang yang senang padanya, padahal menurutku wajahnya sich nggak terlalu cantik. Mungkin karena hatinya baik, yang membuat dia cantik. Tapi rasanya tetap saja hambar, soalnya satu yang aku belum tahu darinya, yaitu cinta ..... apakah dia mencintaiku? Atau dia sudah punya pacar? Terus terang aku telah mencintainya sejak pandangan pertama. Tapi entah dengannya, soalnya aku juga belum mengatakan cinta kepadanya. Nanti kalau ada kesempatan yang baik, akan kugunakan untuk mengatakannya. Hingga tiba saat ini, mungkin dengan mengantarnya ke toko buku adalah kesempatan terbaik untuk mengatakan cintaku.

* * *

Oh, aku jadi ingat si Deni kutinggalkan di kamarku. Deni teman kostku, dia sahabat karibku, dia tahu perasaanku ke Rike. Kutemui Deni yang lagi merenung di kamarku.

“Sori, Den, aku tadi lagi bete. Eh, pas kamu datang ngasih kabar ada telpon dari Rike, aku jadi senang dech,” kataku sambil guyon.

“Dasar onta-luh, giliran si Rike aja kamu sigap, eh sobat kamu sendiri dicuekin,” jawabnya sambil cemberut.

“Eh, apa katanya, Rot? Ngajak kencan, ya? Apa dia ngomong cinta sama kamu?” tanyanya dengan cepat.

“Nggak, dia ngajak ke toko buku, katanya ada tugas,” jawabku datar.

“Ya, nggak seru dong. Gini, aku kasih tahu kamu, entar pas kamu lagi jalan ama dia, kamu langsung tembak dia, bilang I Love You gitu, apa susahnya sich ngomong begitu,” katanya dengan semangat.

“Eh! Ngomong sih gampang, tapi ini bibir susah diajak kompromi. Kalau sudah ketemu dia, hilang dech apa yang akan diomongin. Asal kamu tahu aja ya, aku tuch sering latihan ngomong I love you ..... I love you ..... tapi kalau sudah dekat si Rike, aduh ..... kelu dech rasanya,” jawabku.

Mendengar penjelasan dariku, Deni langsung bengong, nggak tahu apa yang dia pikirkan, aku juga kadang geli sendiri ngomong I love you saja kok susahnya minta ampun.

* * *

Singkat cerita aku jalan sama dia, putar-putar sekitar toko buku. Setiap buku yang menurutnya menarik, ia langsung minta pendapatku, akupun menjawab sebenarnya, (jaga imej) pokoknya jalan sama Rike menyenangkan (padahal aku paling sebal jalan-jalan ke toko buku) tapi kalau yang ngajaknya Rike ke manapun selalu menyenangkan bagiku.

“Eh, Rot, sudah ini kita makan dulu, ya,” katanya sambil menarik tanganku.

Aku ikut saja, aduh hatiku deg-deg-an lagi, harus gimana nich, kucoba untuk menenangkan hati. Terus dia memilih tempat yang pas dekat air mancur, pemandangan yang sangat indah (bisa juga tuch si Rike memilih tempat yang romantis). Ya, disinilah aku akan mengatakan cintaku .... oh Tuhan mudah-mudahan, aku lancar dalam menyampaikannya

“Kamu pesan apa Rot?” tanyanya lagi.

“Aku sich terserah kamu aja dech,” kataku singkat.

Idih, kok terserah aku, ya udah, kalau gitu pesan ini saja,” katanya sambil menunjukkan tulisan. “Mie Yamin manis” yang tertera pada menu makanan.

Aku menggangguk. Iya pokoknya terserah kamu Rike, semuanya kuserahkan padamu, bahkan kalau kau minta jantungku, akan aku berikan untukmu ..... (puitis banget).

Tak lama kemudian 2 porsi mie yamin manis dan 2 gelas es campur tiba. Aku masih dalam lamunanku. Aduh gimana ya mulainya, aku harus mengatakannya gimana ya, masa sambil makan? Tapi mending sekarang, kapan lagi ...... nanti saja kalau makannya sudah selesai. Hatiku terus berkecamuk memikirkan strategi jitu penembakan, hingga akhirnya aku putuskan untuk menembaknya pas sudah makan saja. Kami makan begitu lahap, mungkin Rike sangat kelaparan, tapi aku tidak sabar untuk menyatakan. Kulihat dia sedang minum es campurnya

“Eng ... Rik .... eh, kamu sudah ..... ,” kataku terbata-bata (aduh gimana nich gugup sekali, masa ngomong I Love You saja susah).

“Ya, apa? Kamu mau ngomong apa, Rot, kok gugup sich kelihatannya?” tanyanya santai.

“Aduh, begini aku jadi malu, Rik, apakah kamu sudah mempunyai kekasih?” tanyaku spontan.

Hek .... dia seperti tersendat ......

“Kenapa kamu menanyakan itu?” tanyanya lagi.

Aku terdiam. Aduh, mudahan-mudahan dia belum mempunyai kekasih.

“Enggak, maksudku aku mau mengatakan, aku suka kamu Rik, aku jatuh cinta padamu, Rik .....,” itu dia kata-kataku.

Tapi dia malah bengong, aku ngomong gitu.

“Gi-gimana, Rik? Aku ingin jawabanmu, sejujurnya dari dasar hatimu yang paling dalam. Tapi kamu jangan takut. Kalau memang kamu sudah ada yang punya ya, nggak apa-apa,” kataku dengan nada agak menurun.

“Benar. Kamu nggak akan marah, Rot kalau aku berkata jujur?” tanyanya lagi.

Aku hanya mengangguk. Hatiku deg-deg-an.

“Sebenarnya aku sudah mempunyai kekasih, malah sudah tunangan, tapi dia sekarang lagi sekolah di Kanada, sekali lagi sori ya, Rot. Kamu adalah sahabatku yang terbaik, kamu adalah teman sejatiku, Rot. Hanya itu yang ada dihatiku, tapi asal kamu tahu, aku juga menyayangimu, mencintaimu, tapi sebatas sahabat, kan dulu kamu pernah bilang padaku, bahwa cinta tak harus memiliki, betul ‘kan?” katanya panjang sekali.

Hatiku terkulai lemas .... oh Tuhan aku merasa malu, tapi kukuatkan hatiku.

“Rot, kamu tidak apa-apa, kan?” tanyanya lagi.

“Nggak, Rik, kamu jangan khawatir aku akan tetap menjadi sahabatmu, melindungimu di saat kekasihmu tidak ada, aku juga mengucapkan terima kasih padamu, atas kebaikanmu selama menjadi sahabatku,” kataku. Kucoba untuk tetap tenang dan tegar (padahal hatiku sakit ..... pedih ..... )

Tak lama kemudian Rike berdiri dari tempat duduknya sambil berkata.

“Kita adalah sahabat sejati,” kataya sambil menyodorkan lengannya.

Kusambut tangannya .................. “Ya, dan akan selalu begitu.”

kamar cerpen

Jodoh tak lari kemana …………

Pertemuan Pertama

Perkenalkan namaku Sutita Herawati, nama panggilanku Tita. Umurku menginjak 21 tahun bekerja di sebuah perusahaan yang terbilang bonafide-lah, sebagai sekretaris direktur. Ciri-ciri badan gemuk nggak, kurus nggak, ya kata orang-orang sich seksi gitu lho. Rambut panjang, ikal bergelombang, supel, ehm ...... baik kepada semua orang. Semua yang ada di kantor hampir selalu memuji akan kecantikanku, bahkan direkturpun sampai melirik kepadaku. Semua lelaki mengejar untuk mendapatkan cintaku, baik yang sudah beristri maupun yang masih lajang. Tetapi selalu Tita tolak, soalnya tidak ada yang pas dihatiku, Tita selalu berkata pada lelaki itu “Kita berteman saja, ya”. Tetapi di antara semuanya itu, ada seseorang yang nggak pernah melirik Tita, wakil direktur yang bernama Yadi Maulana. Kebetulan ia seorang pemuda yang tampan sekali, Tom Cruise saja kalah cakepnya, dan masih lajang lagi, tetapi sayang dia judes banget. Tita jadi penasaran, “Apa yang membuat dia selalu cuek terhadap yang ada di sekelilingnya, ya?” gerutuku dalam hati.

Berbagai cara Tita lakukan untuk mendekatinya, pura-pura mengembalikan balpoint lah, meminjam buku lah, atau menanyakan laporan tentang perusahaan. Pak Yadi tetap menjawabnya dengan nada datar. Apa yang ditanyakan olehku selalu dijawabnya biasa, tidak ada senyum, tidak ada rasa, padahal laki-laki kalau melihat wanita cantik, wuih ..... jangankan yang masih lajang yang sudah beristri saja terkadang mulutnya suka mengumbar kata-kata gombal, senyumnya suka dimanis-manisin biar kelihatan manis, tapi Yadi beda dari yang lainnya.

Biasanya aku pulang kantor pukul 16.30 WIB. Sekarang aku harus pulang pukul 20.00 WIB, soalnya ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Selesai pekerjaan, aku langsung pulang. Dalam perjalanan menuju rumah, mulutku komat-kamit, “Aduh, gimana sich, kok cuek banget dia, harus gimana lagi nich caranya supaya tuh yang namanya si Yadi mau ngobrol ama gue ya, nasib ....... padahal lelaki banyak yang antri ama gue pingin cinta gue .... nah elo sombong banget jadi cowok ..... awas elo entar tahu rasa!” gerutuku.

Di persimpangan jalan antara gang yang mau ke rumahku sebuah mobil mercy lewat, dan ups ...... mobil itu telah menciprat badanku dengan genangan air yang ada di jalan, bekas hujan tadi sore. Aku langsung melotot sambil bertolak pinggang dan keluarlah sumpah serapahku itu, “Uh dasar nggak tahu diri, punya mata enggak sich, gue jalan sudah minggir eh mepet aja tuch jadi basah dech badan gue, gue sumpahin elo jadi monyet ...... dasar ......., belum sempat melanjutkan kata-kataku keluarlah dari mobil itu seorang laki-laki tampan langsung meminta maaf “Eh, maaf dek aku nggak sengaja, tadi aku terburu-buru jadi nggak tahu ada genangan air dipinggirnya, maaf ya,” katanya dengan nada memelas.

Aku nggak langsung menjawabnya. Soalnya, ya Tuhan ternyata apa yang ada dihadapanku ini benar apa nggak sich. Kucoba untuk tenang, tapi hatiku tetap gemetar, “Pak Yadi eh .... eh .... saya ........ maaf ......., (pikir gue kok dia nggak tahu gue, padahal dia kan sekantor ama gue). Aku terus bengong sambil mulutku menganga.

“Maaf, siapa Pak Yadi itu dek? Kamu kenapa, sakit? Aku antar ya ke rumahmu?” katanya sambil membuka pintu mobil itu.

Aku seperti terhipnotis oleh perkataannya. Aku ikut saja masuk ke dalam mobil itu. Padahal aku belum mengenal dia, namanya saja aku tidak tahu, tapi ya Tuhan wajahnya itu mirip sekali dengan Pak Yadi. Jangan-jangan dia kembarannya .... ah nggak mungkin .... mungkin saja di dunia ini segalanya mungkin saja, sekarang banyak yang kembar. Hatiku terus bertanya-tanya. Pas aku mau bilang maaf, dia juga bilang maaf, jadi barengan dech. Terus dia langsung ngomong sambil tersenyum “Kamu saja duluan ngomongnya.”

“Eh, maaf tadi aku marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kasar, eng .... anu di sini saja berhentinya, Pak, eh Mas,” kataku. (Oh Tuhan mengapa aku gugup ya dihadapan dia, padahal aku banyak teman cowok dan ngobrol biasa, nggak pernah segugup ini.... oh mungkinkah aku jatuh cinta sama Pak Yadi?).

“Lho, mengapa adek berhenti di sini, memang di mana rumahnya kan baru saja melaju sebentar mobilnya, kok sudah berhenti lagi?” katanya sedikit agak genit.

“Anu .... rumahku itu ..... masuk gang ini, jadi berhenti saja di sini, terima kasih,” kataku mulai gemetaran.

“Ya .... kan kita belum kenalan, oh iya kenalkan namaku Hadi Sitompul panggil saja aku Mas Pul dan kamu siapa?” sambil menyodorkan tangannya.

“Eh, aku Sutita Herawati, panggil saja aku Tita.”

Terus kami kenalan, dan dia ngasih kartu nama, ini kartu namanya:

Dr. Hadi Sitompul

Jl. Cihanjuang No. 1 Jaksel

Telp. 007008009

Hp. 022033044

E-mail: gembol@indo.net.id

Setelah nyampe rumah, aku langsung menuju loteng, dan masuk kamar. Pintu kamar langsung kukunci. Aku rebahan di atas kasur sambil memandang langit-langit kamarku dan mengamati kartu nama yang tadi. Hadi, Hadi, wajahmu seperti Pak Yadi tapi tingkah lakumu jauh berbeda, aku menghela nafas panjang .... bayanganku antara dua pilihan Yadi apa Hadi. Hem, aneh hidup ini, disaat aku ingin dilirik Pak Yadi datang Hadi yang wajahnya sama, tapi hatiku bingung, aku ingin sekali ditanya Pak Yadi, diajak bicara sama Pak Yadi, tapi nggak tahulah. Tak lama kemudian panggilan makan malam datang, Emakku berteriak-teriak....

“Tita, Tita, kamu sudah datang, belum? Ayo makan! Cepat kamu turun ke bawah!” kata Emak sambil menyiapkan makanan untukku.

“Aku nggak lapar, Mak, aku ingin langsung tidur, cape!” teriakku di atas loteng.

“Tumben, tuch anak, kenapa dia, nggak biasanya dia begini, jangan-jangan masuk angin? Coba kutengok sakit apa nggak ya?” gerutu Emak.

Emakku kedengarannya langsung menuju loteng ke tempat tidurku. “Tok ... tok ... Tita .... Tita .... kamu sakit, Nak? Buka pintunya!” pinta Emakku.

Aku langsung membuka pintu dan langsung Emakku memburuku dengan segala pertanyaan yang sudah sering kudengar.

“Kenapa, Nak? Apa kamu dimarahin Pak Direktur? Atau kamu lagi marahan sama teman-temanmu di kantor, atau jangan-jangan kamu lagi jatuh cinta ya ........ ? Ayo terus terang sama Emakmu ini, mudah-mudahan Emak bisa membantumu, kenapa, Nak?” tanya Emakku ingin segera mengetahui jawaban dariku.

Hidupku sungguh beruntung mempunyai seorang Emak yang selalu memperhatikanku dan selalu menyayangiku. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini selain Emakku, ayahku sudah lama meninggal. Emakku hanya seorang penjual pisang goreng di pasar Soreang, tanpa Emakku hidupku hampa, Emakku selalu mendengarkan keluh kesah hatiku. Emakku segala-galanya. Aku melempar senyuman kepada Emakku, sambil berkata, “Nggak apa-apa, Mak, aku cuma cape, tadi pekerjaanku banyak sekali, Mak.” kataku datar. Ya, Tuhan aku berbohong pada Emakku, padahal aku sedang jatuh cinta benar apa yang dikatakan Emak tadi.

“Ya, sudah sekarang makan dulu daripada kamu nanti sakit, Emak lagi yang repot.”

Aku turutin kata-kata Emakku, yang sudah cape-cape menyediakan makanan untukku, sayang sekali kalo nggak kumakan. Keterlaluan sekali aku ini ......

***

Dia Mengatakan Cinta

Nggak terasa sudah pagi lagi. Aku terburu-buru mandi, aduh kesiangan nich ....... Aduh gimana nich ..... Emakku memanggil-manggil aku untuk sarapan pagi ..... rambut belum disisir ..... aduh gimana nich, “Gara-gara semalam membayangkan terus wajah Pak Yadi jadi begini,” gerutuku.

“Eh, Tita, kamu sarapan dulu Nak, ayo kalau nggak sempat sarapan, bawa saja pisang gorengnya ke kantor!” kata Emak.

“Iya, Mak aku bawa saja ya pisang gorengnya, aduh Mak terlambat nich, aku berangkat ya Mak, “Assalamu’alaikum,” kataku terburu-buru sambil mencium punggung tangan Emakku.

“Wa’alaikum salam,” jawabnya.

Aku berjalan terburu-buru, sambil menunduk menuju halte bus, jadi nggak sempat memperhatikan sekitarnya, hingga aku menubruk seseorang laki-laki, “Eh .... maaf, kuangkat kepalaku ya Tuhan wajah Yadi lagi. Dengan pede sekali aku langsung berkata “Hei, Mas Pul kamu kok nunggu di halte bus sich ke mana mobilmu mogok, ya?” kataku serasa sudah dekat sekali padahal baru malam tadi aku berkenalan.

“Oh, kamu SuTita kenapa kamu terburu-buru, takut terlambat, ya? Siapa itu Mas Pul?” katanya dengan suara datar.

Oh, Tuhan!!! Itu kan suaranya Pak Yadi, oh ini gimana sich, hidup ini memang aneh mimpi nggak aku ini, kucoba mencubit tanganku sendiri, aaauuwww sakit ..... aku nggak mimpi, ini kenyataan, oh aku harus gimana dong, belum sempat aku menjawab pertanyaan tadi, Pak Yadi sudah berbicara lagi.

Yuk, kamu mau bareng aku nggak?”

Aku hanya mengangguk tidak bisa berkata apa-apa. Kuikuti dia dari belakang ternyata mobil Pak Yadi diparkir di seberang Halte Bus. Mengapa dia parkir di sana? Apa dia sengaja menungguku? (Ah Tita kamu jangan GR dulu, entar kamu sakit hati). Aku pura-pura tenang padahal di dalam hatiku penuh pertanyaan yang bergejolak.

Selama di dalam perjalanan menuju kantor aku diam membisu, seperti menelan biji kedongdong, tenggorokanku sakit. Aku coba ingin bertanya tapi susah mulut ini untuk bicara, seperti terkunci, padahal di kantor aku mengharapkan sekali suasana seperti ini, di kantor aku selalu berpura-pura untuk menaruh perhatiannya. Ya, Tuhan mengapa diri ini, apakah aku jatuh cinta? Aku takut, seperti yang dikatakan peribahasa bertepuk sebelah tangan. Ya, Tuhan, tolonglah aku, perasaanku ini susah dipendam. Belum sempat aku berkata apa-apa, Pak Yadi sudah duluan angkat bicara, dengan suara agak perlahan tapi pasti.

“Sebenarnya, aku sengaja menunggumu di sini, aku sudah lama mengikutimu dari belakang, mulai dari berangkat kerja, pulang kerja, aku selalu mengikutimu, tapi aku takut ....,” katanya dengan suara datarnya itu.

Tidak diteruskan takut apa Pak Yadi, justru kata-kata itu yang aku tunggu selama ini, ya Tuhan, mudah-mudahan ini tidak hanya dalam mimpi, mudah-mudahan ini kenyataan. Aku hanya terdiam sambil melirik ke arahnya. Begitu sempurnanya Pak Yadi dari wajah sampai tutur katanya lembut, rajin beribadah, tingkah lakunya nggak pernah kurang ajar, seperti laki-laki lain, padahal kalau dipikir-pikir dia itu bodoh sekali. Sudah tajir, cakep, pintar, pokoknya kalangan atas. Mengapa takut hanya untuk mengatakan cinta saja, padahal wanita manapun pasti akan tertarik dengan Pak Yadi. Aku terus berbicara dalam hatiku sambil mengamati wajahnya yang wuiiihhhhh tampan habis ....... Tidak lama kemudian, dia meneruskan lagi.

“Tita, maaf ya, kata-kataku tadi mungkin menyinggung perasaanmu, dan selama aku mengikutimu mungkin kamu akan berpikiran lain terhadapku, tapi justru aku takut untuk mengatakannya ......, (mobil berhenti sebentar, padahal jarak ke kantor sebentar lagi, oh cepat Pak Yadi mau mengatakan apa) mengatakan aku cinta kamu....,” katanya dengan suara lirih dan sedikit mendesah.

Ya, ampun mudah-mudahan ini tidak lagi bermimpi. Selama aku bekerja di perusahaan ini, kurang lebih 2 tahun, dia baru mengatakan cintanya. Ini yang kutunggu, seperti lelaki yang ada dihadapanku kriteria aku, dia tidak pernah mengobral cinta, untuk mengatakan cintanya saja dia sulit. Oh Tuhan aku bersyukur pada-Mu, mungkin do’a Emakku terkabul, ini do’a Emakku yang setiap kali sehabis shalat selalu mendo’akan anaknya semoga mendapatkan jodoh yang baik lagi sedikit tajir (heeee .... biar sedikit matre), Emakku pernah bilang kita memang tidak boleh memilih-milih jodoh! Yang penting satu iman, satu keyakinan, dia mau bertanggung jawab, sayang keluarga, sayang kepada diri kita sendiri itu sudah cukup. Aku terus berkata-kata dalam hati. Tidak terasa sudah berhenti di tempat parkir mobil perusahaan.

“Tita, sekali lagi aku minta maaf aku telah berbuat lancang terhadap kamu, tetapi hati ini tidak bisa dipendam lagi, dari lubuk hatiku yang paling dalam sekali lagi kukatakan I Love You, Tita, aku tidak meminta jawabanmu sekarang, soalnya aku takut kalau kamu sudah punya pacar, ku tunggu jawaban,” katanya sambil membuka pintu mobil.

Sebenarnya aku ingin langsung menjawab, Ya, Pak Yadi aku juga mencintaimu, aku tidak bisa tidur karena memikirkanmu terus, tapi bibir ini rasanya kelu, susah untuk mengangkat. Aku hanya terdiam, terpaku dan ...... ya susah dikatakan dengan kata-kata.

* * *

Memang hidup ini aneh, seperti yang kukatakan tadi. Aku jadi malu sekarang, dulu sebelum Pak Yadi mengatakan cintanya padaku aku selalu ingin mempunyai kesempatan untuk mengobrol dengannya, ingin rasanya mengenalnya, tetapi sekarang semuanya serasa aneh, mungkin ini yang dinamakan Love is blind? Dulu kalau membuat laporan perusahaan aku selalu ingin cepat-cepat bertanya. Sekarang, malah sebaliknya, jangankan untuk bertanya, bertemu saja aku malu rasanya. oh Tuhan tolonglah hamba-Mu ini, mungkinkah ini cinta sejatiku? Aku tidak ingin seperti dalam dongeng-dongeng orang tua dulu atau sinetron yang sekarang-sekarang ini. Orang miskin selalu diinjak-injak sama orang kaya. Aku ingin seperti dongeng Cinderela, aku cinderelanya dia jadi pangerannya (aku tersenyum sendiri). Khayalanku terganggu karena suara telponku berdering. Hah kulihat Line 2 menyala, aduh Pak Yadi, aduh gimana nich kok jadi gugup begini, sabar Tita ..... sabar, tenang ...... tenang. Kuangkat telpon kucoba untuk berbicara.

“Hallo?” dengan hati yang deg-deg-an.

“Hallo? Tita, bawakan aku laporanmu! Kamu sudah buat laporan untuk hari ini, kan?” dengan suara yang lembut.

“Su ..... sud .... sudah, Pak,” kataku terbata-bata.

Kirain Pak Yadi mau minta jawaban cintaku sekarang, uhhh payah aku ini, terus menggerutu di dalam hati. Aduh gimana sich Tita ini, masa laporan saja harus dipinta, biasanya aku ini rajin, sebelum dipinta laporan sudah memberikannya. Baru kali ini Pak Yadi kedengarannya agak beda, suaranya lembut dan penuh kasih sayang, nggak seperti biasanya begitu datar. Hatiku terus menggerutu. Tidak lama kemudian aku ke ruangannya memberikan laporan harian perusahaan. Terdengar lagu sayup-sayup di telingaku lagu Tito Sumarsono:

Tuhan tolong ........

bimbing kami .......

restuilah .....

tali cinta ......

kuatkanlah ....

dan seterusnya

Oh lagu itu datangnya dari ruangan Pak Yadi. Baru saja aku mau masuk, dia sudah membukakan pintunya. Aduh begitu perhatiannya sekarang, dulu boro-boro dibukain pintu senyum aja nggak pernah.

“Ini, Pak laporannya,” kataku kucoba untuk tenang seperti biasanya.

Pak Yadi memperhatikan laporan yang kuberikan seperti biasanya, dia selalu hati-hati dalam bekerja, dia cek semuanya, dari data pendapatan, pengeluaran, dan kas-kas yang lainnya. Aku terus memperhatikannya tidak ada cacat sama sekali, begitu sempurna dia bagiku, sudah cakep perhatian lagi, aku dapat karunia yang paling besar dari Allah. Amin. Semoga ini cinta pertamaku dan terakhir ya Allah, semoga kau memberikan yang terbaik bagiku. Aku terus berkata-kata di dalam hati.

“Ya, semuanya benar, terima kasih ya, Tita. Eh, nanti makan siang di mana kamu? Kita ke KFC ya?” katanya dengan suara yang lembut.

“Eng ..... eng .... iya Pak Insya Allah,” kataku dengan nada agak pelan. Aku jadi gugup begini, padahal nggak biasanya aku begini. Aku menjadi serba salah. Aku beranjak dari kursiku. Kucoba untuk tersenyum, dia membalas senyumanku, oh aku jatuh cinta ..... aku jatuh cinta ...... aku berteriak dalam hati. Ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi mengapa dia sebelumnya harus cuek. Mulai sekarang aku harus lebih cantik di depan dia.

* * *

Dia pergi untuk selama .....

Tidak terasa aku menjalin hubungan cintaku dengan Pak Yadi kurang lebih 3 tahun. Umur cinta yang tidak begitu sedikit. Kami ibarat dua sejoli yang tidak bisa terpisahkan. Emakku sudah menyetujuinya. Begitu juga dengan keluarga Pak Yadi sendiri. Bahkan kami merencanakan ke jenjang perkawinan. Emakku seperti tidak percaya akan jalannya cintaku itu. Setiap aku bertemu, nge-date, aku selalu menceritakannya kepada Emakku. Dia satu-satunya bagian hatiku, curhat kepada Emakku adalah yang terbaik dalam suka maupun dukanya. Halangan maupun rintangan selalu aku dan Pak Yadi pikul bersama, aku selalu diberi nasihat, kalau aku lagi sedih jangan lupa ingat Tuhan, hanya itu kata-katanya yang selalu ada di dalam hatiku hingga saat ini ......

* * *

Sudah dua minggu aku tidak bertemu dengannya, rasanya dua abad aku tidak bersua. Memang sekarang-sekarang ini perusahaan kami disibukkan oleh proyek besar, jadi dia yang diutus ke sana ke mari. Dan sekarang dia sedang bertugas di Luar Negeri, yaitu di London, meskipun begitu kami tidak lepas untuk berkomunikasi. Setiap malam aku selalu dikirimi puisi-puisi indah lewat Hp-ku. Ternyata dia orangnya romantis banget.

Terkadang aku ingin sekali memelukmu

Lebih erat, erat lagi agar tidak terlepaskan

Terkadang aku ingin sekali menemuimu

Mengkhayalmu menjadi pendampingku untuk selama-lamanya

Oh..... angin sampaikan salamku padanya

Jangan biarkan calon pendampingku pergi dari sisiku .......

Dari sekian puisi indah yang ia kirim, puisi yang terakhirlah yang aku simpan dalam hati. Kucoba memutar radio kaset untuk menghilangkan rasa kangenku kepada Mas Yadi, lagu Nella Regar .....

Sudah begitu lama

Ingin aku katakan .....

Apa yang ada dihati ini

Tetapi kutak tahu, bagaimana caranya

Dan aku .... takut kelihanganmu

Kangen .... Kangen .....

Aku kangen padamu .....

Belum sempat lagu itu selesai, aku dikejutkan oleh suara HP-ku

Biiippp.... biiippp .... Itu Mas Yadi.

“Hallo?” kataku.

“Hai, sayang selamat malam, lagi ngapain? Sudah bobo belum? Mimpikan aku ya, yang?” katanya mesra sekali.

“Hai, Mas Yadi? Kapan pulang? Aku sudah kangen nich, Mas lagi ngapain?” kataku dengan suara yang kelihatannya kangennnnnnnnnnn berat.

“Aku besok pulang, kamu mau oleh-oleh apa? Besok aku bawain dech,” katanya.

“Ah, nggak usah Mas, entar berat lagi, pokoknya besok bawa hatimu kembali padaku,” kataku sambil bercanda sedikit.

“Beres, itu sudah aku bawa dengan jantungku, oh iya persiapan nikah kita gimana? Kan seminggu lagi. Tita aku sudah nggak kuat nich pingin memelukmu,” katanya.

“Ih, Mas Yadi genit dech. Iya Mas, aku hampir lupa, ibu Mas yang mengurus semuanya. Pokoknya Mas jangan khawatir dech, besok harus pulang ya, selamat malam,” kataku menutup pembicaraannya.

“Selamat malam, selamat bobo sayang, jangan lupa berdoa kepada Tuhan semoga aku selamat sampai tujuan,” katanya.

Itu kata-kata terakhirnya ....

Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Tapi bagiku menunggu sang kekasih adalah menyenangkan. Aku buru-buru mandi, aku akan menjemput ke Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Aku harus tampil lebih cantik. Tapi.... prak..... aku tidak sengaja menyenggol foto kekasihku. Aku ambil foto Mas Yadi. Oh tidak, sambil kupunguti pecahan kacanya, aku menangis. Ya, Allah mudah-mudahan ini hanya karena kecerobohanku, bukan karena ada sesuatu yang akan terjadi. Oh Mas Yadi mudah-mudahan kamu selamat dalam perjalanan. Tapi hatiku tetap masih teringat Mas Yadi .....

Selama di dalam perjalanan menuju bandara aku hanya diam membisu. Keluarga Mas Yadi merasa heran melihat wajahku yang murung, seharusnya aku bahagia Mas Yadi pulang, tapi mengapa wajahku selalu murung? Tidak lama kemudian, Ibunya Mas Yadi bertanya.

“Tita, kenapa kamu? Lagi sakit?” katanya.

“Oh, eh, nggak, Bu, cuma pusing sedikit,” kataku terbata-bata. Oh, Tuhan untuk menutupi kegelisahan ini aku terpaksa berbohong, mudah-mudahan kejadian pagi tadi tidak sama seperti yang ada dalam pikiranku. Namun, mengapa hati ini gelisah, jangan sampai Mas Yadi pergi, hatiku menjerit. Kenapa aku mempunyai perasaan begini ya.

Mobil diparkir di depan. Aku menuju ke dalam bandara bersama keluarga Mas Yadi. Ya, Allah mengapa perasaanku sekarang hampa. Padahal, sebentar lagi kekasihku datang, aku mencoba untuk bahagia. Wajahku kubuat semanis mungkin. Biar orang lain tahu bahwa aku senang atas kedatangan Mas Yadi, mudah-mudahan rasa kekhawatiranku tidak akan terjadi, ternyata di bandara sudah ada Pak Direktur, menunggu Mas Yadi pulang dari London.

Dari waktu ke waktu, masih nggak ada kabar juga, aku semakin gelisah, aku ke sana ke mari untuk menenangkan hatiku. Oh, itu dia Bos-ku dengan terburu-buru menghampiri keluarga Mas Yadi. Aku melihatnya dengan begitu tegang. Mereka sedang membicarakan apa? Kulihat Ibunya Mas Yadi menangis, semuanya menangis, aku sudah menduga, oh tidak ya Tuhan, aku langsung menangis, kudengar sayup-sayup tapi pasti. Pesawat yang ditumpangi Mas Yadi jatuh ke jurang semuanya nggak ada yang selamat. Oh Tuhan, tubuhku terkulai lemas, aku terjatuh ..... dan tak sadarkan diri ........

* * *

Sadar-sadar aku sudah berada di rumah sakit, selang infus menghalangiku, oh aku ini kenapa? Aku melirik ke kanan dan ke kiri, pandanganku samar, sebelum akhirnya semua yang ada di ruangan semakin terlihat jelas. Emak sedang menangis, .....

“Mak ......... ,” aku bicara perlahan.

“Oh, kau Nak sudah sadar, alhamdulillah ya Allah Engkau masih memberi kepercayaan kepadaku, kau sembuhkan anakku, kau sudah 2 hari koma, Nak,” kata Emakku sambil menangis.

Aku koma 2 hari? Ya Allah, syukurlah aku masih diberi kesempatan untuk melihat Emakku. Tapi rasanya aku ingin mati saja, tidak terasa berlinanglah air mataku. Aku jadi ingat semuanya mimpi atau kenyataankah ini? Memang benar apa yang dikatakan orang-orang jodoh, mati, celaka, rezeki, Allah yang mengaturnya. Inilah yang sekarang aku alami. Hatiku terus berbicara, soalnya aku belum bisa banyak bicara, mulutku terasa kelu, nafasku terasa sesak.

Krek..... pintu terbuka. Kulihat seorang suster beserta seorang dokter datang menghampiriku.

Aku dan Emakku kaget sekali melihat siapa yang datang. Dokter itu wajahnya mirip Mas Yadi.

“Oh rupanya Anda sudah sadar,” kata dokter sambil membuka alat tabung pernapasan.

Oh, Tuhan mimpikah aku? Itu Mas Yadi, dia kembali, dia tidak mati, terima kasih ya Allah Engkau telah memberiku semangat lagi.

“Mas ....... mas tu ...... kul ........ kau,” aku berbicara terbata-bata.

“Nona, anda istirahat dahulu, ya, jangan dulu banyak berbicara, keadaan nona soalnya belum stabil,” katanya dengan lembut dan tersenyum. Dia memeriksa keadaanku. Aku tak lepas menatapnya. Kemudian dokter itu keluar bersama suster tadi, tidak berapa lama Emakku pun menyusul keluar dan kembali beberapa menit kemudian.

Alhamdulillah, Nak, kau sehat, nanti sore kalau nggak ada keluhan apa-apa, dokter mau mencabut selang infusan yang ada dibadanmu. Untunglah kata dokter tidak mengenai syaraf otak. Kekebalan tubuhmu kuat dan berkat karunia-Nya juga, kau bisa sembuh, Nak,” kata Emakku menangis bahagia.

“Ehm, Mak ....... Mak ...... hek .... Mas Tu ..... kul ...... Mak,” kataku terbata-bata.

“Nak, jangan dulu banyak berbicara, kata dokter kamu harus banyak beristirahat, jangan pikirkan Mas Yadi dulu, biarlah dia sudah tenang di sana, kita harus terus memberikan doa semoga dia diterima di sisi Allah SWT, amin,” kata Emakku dengan nada lirih.

Ya Allah, berilah aku kekuatan untuk menghadapi kehidupan ini tanpa dia. Semoga engkau memberikan jalan yang terang bagi Mas Yadi ..... Mas, maafkan aku mas ........ hatiku menjerit-jerit ...... padahal beberapa hari lagi aku akan menikah dengannya. Undangan sudah tersebar ke mana-mana. Oh, aku tak sanggup lagi menghadapinya ..........

* * *

Biarlah Semuanya itu Menjadi Kenangan

Sudah satu minggu aku dirawat di rumah sakit Imanuel, aku pulang ke rumah dijemput oleh keluarga Mas Yadi, aku sedih sekali kalau mengingat kejadian-kejadian itu. Semuanya begitu cepat berlalu, hanya dengan hitungan detik saja semuanya sudah hilang. Semua tetangga berdatangan ke rumahku, teman-teman sekantorku, bahkan Big-Bos pun datang pula menengokku, memberi aku semangat, dan mendoakanku. Kata mereka kita itu harus sabar, harus tawakal, semua sudah ada garis takdirnya. Siapa tahu kamu dapat jodoh lagi yang lebih baik dari Mas Yadi atau seperti Mas Yadi, toh dunia ini tidak selebar daun kelor.

Aku berusaha untuk melupakan semua itu. Biarlah semua itu menjadi kenangan. Aku berada di kamar sendirian. Sepi rasanya, kucoba untuk menghibur diri aku putar radio. Ya ampun ..... lagu itu ......

Tuhan tolong ........

bimbing kami .......

Oh, tidak .... buru-buru aku matikan radionya aku menangis sekeras-kerasnya, sakit sekali hati ini. Lagu itu mengingatkan kembali kepada Mas Yadi pertama aku mengenalnya. Itu lagu yang sering dinyanyikan Mas Yadi kalau berada di mobil berdua bersamaku. Aku menangis keras. Saking kerasnya Emakku lari menghampiriku.

“Tita, kamu kenapa, Nak? Aduh kamu nggak apa-apa, apa yang sakit, Nak?” kata Emakku begitu merasa cemasnya sambil memeluk diriku.

“Mak ....... huk ..... hatiku sakit sekali, Mak ..... rasanya aku tidak bisa bertahan hidup tanpa Mas Yadi,” kataku sambil tak henti-hentinya menangis.

“Sabar, Nak sabar semua itu sudah ada yang mengatur. Emak do’akan semoga kau mendapatkan yang lebih baik, Nak,” kata Emak dengan suara tegas. “Kita serahkan saja semuanya pada Allah yang Maha Kuasa, dia yang lebih tahu daripada kita, perbanyaklah kau berdoa dan berzikir. Nah, sekarang cepatlah tidur kamu harus banyak istirahat. Besok biar kamu kelihatan cantik,” kata Emakku sambil mencium keningku.

Aku hanya mengangguk. Setelah Emak berlalu dari kamarku, keadaan sepi lagi. Aku sendiri lagi...... di dalam hatiku berkata, Ya, Allah sekali lagi kuucapkan terima kasih atas kebesaran-Mu. Kau ambil Mas Yadiku tapi jangan kau ambil dulu Emakku ...... dia yang selalu merawatku, memberiku semangat, pokoknya dia segala-galanya bagiku ..... jangan dulu kau ambil, aku belum sempat memberikan yang terbaik bagi Emakku. Aku ingin membahagiakan Emakku. Sebenarnya aku sudah mempunyai rencana, setelah aku menikah nanti sama Mas Yadi, aku akan membawa Emak ke mana aku pergi. Emak tidak usah lagi jualan gorengan di pasar. Pokoknya aku akan membahagiakan Emak. Manusia hanya berencana, tapi Tuhan yang menentukan segalanya.

* * *

Orang yang Sabar Selalu Mendapatkan yang Terbaik

Dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, dari bulan ke bulan aku jalani dengan perasaan yang begitu tenang, damai, aku turuti semua petuah Emak dan para tetangga. Sekarang aku sudah mulai lagi bekerja, keadaanku sekarang agak lebih baik dari yang kemarin. Aku sedikitnya sudah tidak bersedih lagi. Buat apa aku terus mengurung diri di kamarku hanya untuk memikirkan kenangan yang tiada hentinya aku khayalkan. Yang terjadi biarlah terjadi, pepatah bilang Orang Sabar Kekasih Allah”.

Aku menunggu di halte bus, seperti biasanya. Tapi ini lain, aku akan ke rumah sakit untuk cek-up kesehatan diriku. Di depan gerbang yang mau ke Imanuel aku bertemu dengan dokter itu lagi, wajahnya yang mirip Mas Yadi ....... oh Tuhan mengapa ini, di saat aku mencoba untuk melupakannya, datang wajah yang mirip Mas Yadi, hati ini mulai bergetar lagi, perasaan apa yang ada di hatiku ini? Padahal setiap aku bertemu laki-laki lain selain Mas Yadi, belum pernah hatiku bergetar seperti ini. Tapi setiap aku melihat wajahnya hatiku langsung bergetar, apa mungkin karena dia mirip Mas Yadiku? Kucoba untuk tenang, dengan langkah pasti aku menuju ke ruangan dokter itu.

“Selamat pagi, Dok .... ,” kataku terpotong.

“Oh, kenalkan nama saya Dokter Hadi Sitompul, iya bagaimana keadaan Anda? Apakah Anda merasa lebih baik, Nona SuTita Loreng,” katanya dengan agak genit.

Aku belum sempat menjawab. Itu .... itu ..... suaranya aku pernah hafal tapi di mana ya? Aku lupa ...... aku pernah mengenalnya .......

“Nona, Loreng, Anda kenapa? Anda masih sakit? Coba saya periksa?” tanya dokter itu.

Sambil memeriksa diriku, dokter itu berkata, “Nona Loreng, Anda sekarang sudah sehat betul, bagus,” katanya.

“Eng ..... eng ..... aku sehat dokter, eng .... aku agak mendingan .... eng, dokter maaf aku mau bertanya,” kataku dengan terbata-bata.

“Iya, silakan, mau bertanya apa Nona Loreng,” katanya kembali sambil duduk lagi.

“Tapi, ini masalah pribadi, Dok,” kataku. “Eng .... rasanya aku pernah mengenal dokter, tapi di mana ya, aku lupa? Apakah dokter pernah mengenal saya?” kataku balik bertanya.

Dokter itu tidak langsung menjawab dia malah senyum-senyum. Terus dia mendehem, seperti berat rasanya.

“Em, ingatanmu sekarang belum 100% pulih, tapi sedikit-sedikit akan pulih dengan sendirinya. Aku akan bercerita sedikit, mudah-mudahan ini akan mengobati ingatanmu. Kurang lebih 3 tahun yang lalu, aku berkenalan dengan seorang gadis cantik sekali, yang tidak secara sengaja, aku telah menciprat tubuhnya dengan genangan air yang ada di jalan.”

Dokter itu berdiam sejenak, sekali-kali dia melirik ke arahku sambil melemparkan senyuman yang ...... aduh di mana ya aku mengenalnya ........

Dokter itu melanjutkan perkataannya,

“Dia telah menyumpahi aku dengan sumpah serapahnya, dia memaki-maki tapi bagiku dia malah tambah cantik.” Dokter itu diam lagi, terus dia menatap tajam ke arahku.

Oh, aku sekarang ingat ...... dia .... dia Mas Pul. Ya, ampun mengapa semua ini bisa terjadi? Dia tidak lupa akan diriku, padahal sudah 3 tahun kita tidak bertemu.

“Kau sudah mengingatnya, Tita,” katanya dengan nada lembut.

Dia mengagetkanku. Dia memanggil namaku dengan sebutan Tita itu kan panggilan nama kecilku, padahal sebelumnya dia memanggil namaku dengan sebutan Nona Loreng. Berarti semenjak aku masuk ke rumah sakit ini, dia telah mengenalku ...... Oh Tuhan semua ini engkau yang mengaturnya ....... pertemuan yang kedua kalinya aku bersama Mas Pul.

“Nona, Tita ........ ,” dokter itu mengagetkanku lagi sambil tangannya melambai ke arah wajahku. Dia seakan-akan menarik ingatanku kembali.

“Oh, iya, maaf Mas Pul .... eh, dokter ...... ,” aku berkata dengan gugup sekali.

“Hei, sekarang ingatanmu sekarang telah kembali 100%, selamat, ya panggil saja aku Mas Pul, hee .....,” katanya sambil tersenyum menyodorkan tangannya.

Tanganku ditariknya untuk bersalaman dengannya. Padahal aku masih tidak percaya, mimpi atau kenyataankah? Hanya kata-kata itu yang selalu aku ulang-ulang .........

“Mas, kenapa kau masih ingat aku?” tiba-tiba aku berkata demikian. Padahal mulut ini tidak bisa berkata, mungkin itu datang dari hati sebutlah spontan.

“Sebenarnya, waktu aku bertemu dengan kamu aku ingin sekali mengenal lebih dekat denganmu, tapi sayang waktuku tidak cukup banyak. Waktu itu aku harus buru-buru ke bandara, aku ditugaskan di Irian Jaya selama kurang lebih 3 tahun. Aku tunggu telpon darimu tapi tidak kunjung datang. Padahal harapanku semoga kau cepat menelpon, setiap kali telpon berdering aku selalu deg-degan, tapi yang terdengar hanyalah suruhan aku untuk bertugas, aku ingin sekali menghubungimu tapi ke mana? Kamu kan tidak memberi aku kartu nama?” katanya seolah-olah dia menyesalkan akan kejadian itu.

Aku sekarang baru ingat betul... pertama aku kenalan dengan dia aku kan cepat-cepat turun dari mobilnya jadi belum sempat aku memberikan kartu namaku. Suruh siapa lagi kamu buru-buru ..........

“Tapi biarlah mungkin Tuhan memberikan jalan yang lain, ya dengan cara ini, kita bisa bertemu lagi, oh iya aku juga turut berduka cita, waktu itu aku belum sempat mengucap-kannya, soalnya kau masih shock berat,” katanya dengan penuh perhatian.

“Oh, iya, terima kasih, Dok, eh Mas Pul,” kataku masih heran. “Mas, kamu mengenal Mas Yadi?”

“Tapi kamu jangan kaget. Aku bukan mengenalnya lagi, tapi saudara kembar, aku adalah Kakaknya Yadi Maulana, dia adalah adikku,” katanya sambil tersenyum.

Hah, aku kaget sekali mendengar perkataannya, ya Tuhan cobaan apalagi yang akan kuhadapi ini. Aku benar-benar nggak tahu bahwa Yadi Maulana mempunyai saudara kembar. Masya Allah, padahal aku bersamanya selama 3 tahun, tapi aku belum mengenalnya lebih dalam. Berbagai macam pertanyaan ada dalam benakku.

“Kenapa Mas Yadi tidak bercerita tentang kamu, ya?” kataku dengan begitu polosnya.

Dokter itu tersenyum lagi.

“Sebenarnya dahulu orang tua kami melahirkan anak kembar, Aku dan Yadi adikku, tapi menurut orang-orang dulu, kebetulan keluarga kami masih percaya dengan kepercayaan nenek moyang, dan masih memegang kuat adat. Katanya, sih kalau Ibu melahirkan anak kembar laki-laki atau perempuan harus dijauhkan supaya tidak cepat sakit, biar panjang umur, biar rejekinya tambah terus, katanya lagi kalau melahirkan anak kembarnya yang satu laki yang satu perempuan itu harus dikawinkan. Itu menurut tradisi kami. Tapi kami kan tidak tahu, itu kan waktu kecil. Kemudian kedua orang tuaku menitipkanku kepada temannya di Medan yang kebetulan tidak mempunyai anak. Aku tinggal bersama mereka di sana, aku dibesarkan oleh keluarga Dokter Sitompul, makanya namaku Hadi Sitompul. Sebelumnya keluarga Aku dan orang tuaku selalu berhubungan, tidak putus komunikasi. Tapi, sejak papaku ditugaskan ke Nederland, komunikasi kami jadi terputus. Sejak itulah aku jadi diriku sendiri, tapi sebelum meninggalnya papa, dia berbicara sedikit, katanya aku harus mencari orang tuaku yang asli, aku adalah amanah sahabat karibnya, lalu dia memberikan alamatnya. Iya begitulah ceritanya. Singkatnya, aku bertemu keluargaku, aku hampir nggak percaya bahwa aku mempunyai kembaran, tapi sayang itu cuma sebentar, sebelum aku mengenal lebih dekat dengannya, dia telah dipanggil duluan oleh Yang Maha Kuasa,” kata-katanya agak tersendat, matanya berkaca-kaca, sepertinya menangis.

Aku menghela napas panjang. Ya, Allah Engkau Maha Besar. Hanya itu yang kuucapkan dari lubuk hatiku yang paling dalam. Memang kalau dilihat-lihat, tidak ada bedanya wajah, tinggi badan, matanya, pokoknya semuanya. Cuma yang membedakan adalah sifatnya. Mas Yadi orangnya pendiam tidak banyak bicara. Tapi yang satu ini Hadi Sitompul, atau mungkin karena profesinya sebagai dokter. Ia lebih agresif, dan murah senyum.

Waktu terus berjalan dengan begitu cepat. Silaturahmi kami menjadi suatu hubungan yang romantis. Aku mencoba untuk memahami dia. Walaupun di dalam hatiku masih tidak percaya. Kedua orang tua Yadi juga merasa senang melihat aku bahagia, semuanya merasa senang......

Singkat cerita Hadi Sitompul melamarku, dan aku hidup bahagia telah dikarunia 2 orang anak. Akhirnya aku telah mendapatkan jodohku, dan aku berjanji akan selalu membahagiakan Emakku dan Mas Pul sampai akhir hayat mereka.

Emak pernah bilang Jodoh takkan lari kemana ......... dan sampai sekarang aku bahagia, ya orang sabar pasti mendapatkan yang terbaik ..........

Semoga cerpen ini memberikan gambaran kepada para pembaca bahwa Kita bisa berencana tapi Tuhan yang menentukan segalanya. Saya minta kepada para pembaca untuk mengambil hikmahnya amin.......

The End