Wednesday, February 7, 2007

kamar cerpen

Menikah Dengan Mayat

Oleh: Narti

“Dipukul?” tanya Jejen.

“Ya, aku dipukul rame-rame oleh pemuda desa karena ingin mencoba joged di atas panggung bersama Susi.” Jawab Didi.

“Sampai kapan sih, Di, kamu akan mengejar-ngejar penyanyi dangdut itu? Primadona desa ini, kamu tidak kasihan dengan wajah dan tubuhmu yang penuh dengan memar kalau sudah nonton aksi panggungnya. Pemuda desa ini tentu risih melihat badanmu yang bau, kotor, wajahmu yang hitam pekat dan miskin, kita hanya anak yatim piatu yang keseharian kita hanya bisa mengambil rumput untuk dombanya Pak Kartim.”

“Ya, aku tahu itu. Kamu tidak perlu mengingatkan aku terus-menerus, aku sangat mencintai Susi. Sampai kapanpun, walaupun sampai keriput, aku sangat tergila-gila padanya. Setiap pagi aku akan terus memanjat pohon mangga depan rumahnya Pak Kartim, agar aku bisa melihat Susi berjalan pergi kuliah dari kejauhan.”

“Kasihan kamu, Di, adikku yang malang…mencintai seorang gadis yang tidak akan pernah dimiliki. Susi dan kamu bagaikan langit dan bumi yang begitu jauh perbandingannya.” Dalam hati Jejen yang begitu teriris.

Setiap Pagi Didi mengambil rumput untuk makanan dombanya Pak Kartim, yang telah baik hati membolehkan kakak-beradik ini untuk tinggal di rumahnya. Pak Kartim merasa kasihan dengan kedua pemuda ini yang tidak punya tempat tinggal, hatinya tersentuh melihat kedua pemuda itu sedang tidur di kandang domba miliknya karena tempat tinggal mereka runtuh terkena angin yang cukup keras dua bulan yang lalu.

*****

“Ingin sekali aku mendekati Susi jantung hatiku, namun ketika aku mancoba mendekatinya Susi lari menjauh. Giliran aku kebetulan berpapasan dengannya di jalan dan tersenyum kepadanya, orang-orang malah mentertawakan aku dan mengolok-olok bahwa aku adalah orang yang tidak punya malu.” Hati Didi terenyuh ketika memikirkan peristiwa itu.

“Sudahlah jangan melamun terus! Minggu depan kita akan pergi ke Yogya, Pak Kartim menitipkan kita kepada saudaranya agar kita bisa kerja di sebuah rumah sakit. Entahlah kita kerja apa di sana, kalau nggak jadi tukang kebersihan paling juga jadi penjaga kamar mayat.” Ucap Jejen yang spontan.

“Apa? Pergi ke Yogya, aku tak mau. Apalagi kerja di sana, aku nggak bisa melihat Susi di sana. Aku bisa mati karena rindu." teriak Didi.

“Dasar Gila, kamu mesti waras! Kita tidak bisa hidup seperti ini terus. Aku akan pergi sendiri mencari hidup yang lebih baik dari sekarang, di sini aku hanya melihat kamu dimaki, diludahi orang-orang, terlebih jika melihat kamu setiap hari membawa cincin tembaga yang kau buat sendiri dari logam uang seratus, dan kau mau berikan kepada Susi. Sadar, Di, sadar! Aku mohon!" Jejen pun tersungkur menahan tangis.

Akhirnya, Didi ikut Jejen ke Yogya dan meninggalkan desa yang telah banyak memberikan kenangan buruk. Benar saja ketika mereka datang di rumah sakit di yogya, ternyata mereka di tempatkan menjadi penjaga kamar mayat rumah sakit tersebut. Menjadi penjaga kamar mayat menjadi tempat yang biasa bagi Didi dua bulan ini tanpa melihat Susi pujaanya, memikirkan nasib yang dilaluinya. Hari-harinya dia habiskan bersama-sama dengan mayat dan menahan kerinduan yang mendalam. Dia tidak seberuntung kakaknya yang dipindah tugas menjadi sopir ambulance.

Keheningan malam, suara angin yang sepoi-sepoi dan suara burung hantu yang berteriak di atas pohon nangka dekat kamar mayat memecah nuansa malam. Didi sedikit terusik dengan keadaan itu, lalu ia mencoba berdiri dari kursi tempat duduknya dan melihat jam dinding yang bergantung di atas tembok. “Sudah jam 1.00.” Bisik Didi.

“Ada apa yah? Apakah di kamar ini ada mayat baru. Saya jadi tidak enak perasaan dan gelisah seperti ini.” dia bertanya kepada dirinya sendiri. Lalu dia mencoba masuk ke kamar dengan penuh kehati-hatian. Dia membuka satu persatu mayat yang ada dan membaca papan identitasnya. “Onda 56 tahun, Paijo 67 tahun, Mirah 77 tahun…Susi Ardini 26 tahun.” Dia tersentak melihat mayat yang dilihatnya terakhir. Hatinya perih tapi penuh haru, seperti mimpi, dan halilintar yang menerjang langsung di kepala.

“Susi, kenapa kamu jadi begini pujaanku? Jadi kau artis yang konser tadi siang di pendopo dan terjatuh karena lemparan botol dari penonton…oh tidak.” Didi memeluk mayat Susi. “Tapi Susi aku senang kau begini, aku bisa memandang wajahmu yang cantik, , mengelus rambutmu yang panjang dan… mencium bibirmu yang seksi, sayang.” Dia memandang mayat itu dengan penuh gairah.

Dibukanya sedikit demi sedikit kain penutup tubuh mayat itu, meskipun sudah tidak bernyawa Susi masih tampak cantik, seperti sedang tertidur pulas. Lalu dia mengambil sebuah cincin tembaga dari saku celananya yang selalu dia bawa kemana-mana. “Aku nikahi kau Susi Ardini binti Ridwan dengan maskawin cincin tembaga ini dibayar tunai, dan bertindak menjadi saksi adalah semua mayat yang ada di sini.” Ijab Didi sembari memasukkan cincin itu ke jari manis Susi.

“Aku akan membawanya pergi, aku tidak peduli walau besok keluarganya akan mengambil jenazah ini. Susi sudah menjadi istriku sekarang, kami akan menikmati malam yang indah ini selayaknya pengantin baru.” Tegas Didi dihatinya.

Lalu dia mengangkat mayat itu dengan perlahan dan menghampiri kakaknya yang sedang berada duduk di dalam ambulance yang tidak jauh dari tempat kamar mayat. “Mayat siapa yang kamu bawa Didi? Tanya jejen tampak terkejut setengah mati. “Aku membawa jenazah Susi, aku sudah menikahinya dan akan membawanya pergi. Izinkan aku pergi kak! Dan kau pinjamkan aku mobil itu untuk aku pakai bersamanya. Kumohon kak! Demi aku, kebahagiaanku dan sayangmu padaku! Pinta Didi kepada kakaknya.

“Aku tidak mau, kau sudah gila. Kembalikan mayat itu ke tempat semula, Di! Pinta Jejen. “Aku tidak mau melepaskan tubuh Susi cintaku, ini adalah kesempatan untukku, ini adalah mimpiku, aku mohon kak!Didi pun bersujud di depan kakaknya.

Jejen pun tidak sanggup melihat keadaan adiknya. “Ini adalah keinginanmu, keinginan yang gila, kau harus siap dengan segala tindakanmu yang tidak wajar, kau lebih memilih cintamu yang gila dibandingkan pekerjaan dan kehidupan manusia normal pada umumnya. Pergilah! Bawalah mobil ini, hati-hati kau baru belajar nyetir! Hujan mulai tampak turun dan malam begitu gelap.” Jejen menahan tangis

*****

Jejen terdiam, di selasar rumah sakit. Dia memikirkan tindakan adiknya dua hari yang lalu, akibat tindakan adiknya pihak rumah sakit dituntut pihak keluarga Susi karena telah menghilangkan jenazah anak mereka.

Dia mengambil sebuah koran lokal yang tersimpan persis di meja depan selasar rumah sakit. Diapun membaca halaman paling depan. Kedaulatan rakyat (5/5) sebuah ambulance jatuh ke dalam jurang pada dini hari (2.15) sopir ambulance mati seketika bersama pasien di dalam ambulance…

THE END

Kehendak dan rencana yang tertunda adalah hutang yang perlahan-lahan akan membunuh diri sendiri. (Al-Zahid)

Banyak yang tidak akan pernah menjamin kebahagiaan sepenuhnya hanya satu saja ialah amanah. (Al-Zahid)