Monday, April 5, 2010

Mengenang Kisah Manager “Biting”

Oleh: Udi Sukrama
Semalam, ketika Badri sedang asyik menonton OVJ (Opera van Java), tiba-tiba perutnya berbunyi “kruuukkk….Kruuukkk”, laksana jam bekker mengumandangkan jam makan. Untungnya, jam bekker perut ini seperti gayung bersambut dengan suara penjual sate yang lewat di depan rumah, ”Tee…Satee..Teee…Satee”. Lansung saja Badri menghampiri tukang sate dan memesan seporsi sate+lontongnya.
Tidak lama kermudian tukang sate pun datang sambil membawa seporti sate + lontong dengan bungkusan berupa daun yang disematkan sepotong lidi. Badri pun membayar seporsi sate itu dan berucap, “terima kasih, Mas”.
Sambil menonton OVJ, tidak terasa seporsi sate habis dilahapnya. Akan tetapi, terasa ada yang menyangkut di giginya, yaitu secuil serat daging ayam menyangkut di gigi depannya. Langsung saja ia memanfaatkan potongan “biting” (lidi) yang telah disematkan di daun pisang pembukung sate sebagai alat mencungkil sisa makanan yang ada di giginya. (Bitting dalam bahasa Sunda (”Penulis masih mencari arti atau istilah yg sebenarnya”) adalah sepotong lidi yang disematkan untuk membentuk sebuah wadah yang terbuat dari daun pisang. Meskipun biting ini peranannya besar dalam membentuk sebuah wadah, tetapi hanya sekedar menempel.)
Akan tetapi, ketika mengambil biting penyemat daun itu, Badri jadi teringat perkataan mantan atasannya dahulu ketika aku masih bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang moulding plastic. Perusahaan yang memiliki sekitar 200-an karyawan yang sebagian besar adalah wanita. Saat itu, kondisi perusahaan di mana tempatnya bekerja mengalami beberapa masalah intern. Salah satunya masalah memalukan, namun fatal terhadap kelangsungan hidup karyawan yang mengalaminya.
Kisah ini dimulai dari permasalahan intern, di mana diketahui salah seorang direktur perusahaan tersebut bernama Bpk. Piko suka menjadi penganggu wanita (staf kantor ataupun orerator). Padahal sang direktur ini konon telah memiliki 4 orang istri (satu istri sah secara agama dan pemerintah, satu istri sah Cuma secara agama, dan 2 istri lainnya sebagai selir semata). Memang rayuan sang direktur ini sangat maut apabila mendekati wanita incarannya, dengan iming-iming diberikan sebidang tanah, kolam, rumah, dan kendaraan pribadi maka dia dapat memperoleh wanita incarannya. Mungkin bagi staf (wanita) yang memiliki keinginan bertambahnya pendapatan atau memiliki rumah pribadi dapat dipenuhi keinginannya oleh sang direktur tersebut asalkan mau menemaninya melakukan hubungan “ehem-ehem” atau menjadi selirnya. Akan tetapi, bagi wanita yang tidak menyukai tingkah polahnya malah merasa jijik dan mengundurkan diri dari perusahaan tersebut.
Hal ini pun terjadi pada rekan Badri, sebut saja namanya “Norma”. Norma sering “curhat” setiap sang direktur menelepon dengan manja dan nada yang memancing gairah. Terkadang Norma pun mengeluh kepada Badri, setelah datang dan memberikan laporan berupa data hasil produksi harian kepada sang direktur. Pasalnya, ia sering dirayu dengan kata-kata manja dan diiming-imingi sejumlah harta benda asal ia mau menuruti keinginannya. Singkat cerita, memuncak pula kekesalan Norma akibat ulah sang direktur sehingga ia melayangkan surat pengunduran diri.
Mengetahui bahwa Norma mengundurkan diri, Badri kemudian menghadap kepada atasannya Bapak Aman, seorang manager yang berwenang di bidang PPIC. Kemudian, Badri menceritakan semua kejadian yang menimpa norma hingga ia mengundurkan diri. Pak Aman tertegun sambil memijat-mijat dahinya, lalu ia berkata; “Pak Badri, kejadian ini bukan hanya sekali ini. Hal ini pun pernah terjadi kepada beberapa orang wanita yang terlihat cantik dan menarik hatinya,” kata sang manager.
“Oh…Bapak sudah tahu ya, tapi kok tidak disarankan untuk menghentikan aksinya, Pak,” dengan sedikit emosi Badri berbicara kepada atasannya.
“Ya, mungkin Bapak tahulah sejauh mana hak saya berbicara terhadap Bpk direktur,” Kata bapak menager mencoba sedikit berwibawa.
“Tapi Pak…..Apakah hal ini akan dipetieskan permasalahannya, sementara sudah banyak karyawan wanita yang menjadi korbannya lalu mengundurkan diri,” kata Badri dengan menahan emosi.
“Pak, saya sadar dan tahu benar kalau hal ini menganggu produktivitas kerja, tapi saya sadar juga siapa saya ini,” kata sang manager.
“Bapak khan manager kami, jadi wajar kalau kami meminta perlindungan ,” kata Badri.
“Pak…saya itu cuma manager ‘biting’, saya hanya menempel dirangkaian jenjang managemen. Saya hanya memiliki tugas yang besar, tetapi tidak dilihat peranannya. Dalam artian, saya hanya melaksanakan tugas saja, tidak memiliki peranan politik apapun, “ kata manager yang terkesan curhat itu.
Mengetahui hal ini aku menyudahi pembicaraan dan berpamitan kepada sang manager. Kemudian, dua hari aku setelah Norma mengundurkan diri, timbullah isu bahwa Badri “ada main” dengan Norma sehingga ia mengundurkan diri. Badri pun ingin klarifikasi isu tersebut kepada Bapak Aman, namun ternyata sang manager dipindah tugaskan tadi paginya ke suatu daerah. Akhirnya, Badri tidak tahan atas isu tersebut dan mengundurkan diri dari perusahaan bersama 37 orang karyawan lainnya yang mengetahui permasalahan tersebut.
Seiring kalimat penutup OVJ yang diucapkan Dalang Parto,”DI SANA GUNUNG DI SINI GUNUNG, DI TENGAH-TENGAHNYA PULAU JAWA, DALANGNYA BINGUNG WAYANGNYA JUGA BINGUNG, YANG PENTING BISA KERTAWA”. Ya……, Badri bisa tertawa dan tersenyum mengenang kisah istilah ” Manager Biting”. yang dipegangnya untuk mencungkil sisa serat sate yang terselip di gignyai.

(Sisa-sisa memori 2000 di Perusahaan Moulding Plastik, semoga tidak terulang lagi…………….)
Mohon maaf jika kisah ini mirip atau serupa dengan kisah Anda, namun ini hanya kisah nyata yang sayang untuk dibuang apalagi dilupakan. Sekali lagi, mohon Maaf sebesar-besarnya…..

Silaturahmi & Ibu Muda dari Negeri Sakura

Oleh: Udi Sukrama
Apa kabar? How do you do?
Kalimat singkat sapaanku kepada seorang teman di acara silaturahmi di sebuah gedung mewah di bilangan kota Jakarta. Temanku itu bernama Meina yang sengaja datang dari negeri Sakura. Menurut kabar, ia telah sukses urban menjadi seorang editor di negeri tersebut. Kemudian, ia langsung menjabat tanganku dengan erat dan berkata seperti apa yang kuucapkan. Selanjutnya, ia mengajakku untuk duduk ke sebuah meja yang jauh dari hiruk pikuk musik dalam acara tersebut.
Meina mecoba menjelajahi pendapatku tentang makna silaturahmi. Aku tahu, ia sedikit kecewa dan bosan akan acara seperti ini. Kemudian, aku bertanya mengapa ia terlihat kecewa. Akan tetapi, sebelum menjawab, ia memberikan beberapa pertanyaan kepadaku.
“Menurutmu, apakah acara silaturahmi seperti ini membuat ikatan hati dan kebersamaan?” tanya Meina kepadaku.
“Coba kamu lihat di sana masih seperti dahulu, berkelompok-kelompok dan saling pamer kebendaan!” kata Meina.
“Ya, mungkin itu makna silaturahmi yang mereka pahami,” jawabku singkat.
Selanjutnya, Meina pun berkata: “Silaturahmi bukan hanya sekedar makan-makan, apalagi mempertunjukkan kebendaan. Itu sih gaya lama, gaya Oom atau tante-tante di tahun 70-an. Silaturahmi merupakan pertalian atau benang merah keterbukaan pikiran dan kepekaan hati.Keterbukaan pikiran membuat kita dapat berbaur dan belajar dari orang lain. Kepekaan hati membuat kita peduli terhadap teman, sahabat, dan kerabat serta serta menjalin persaudaraan. Itulah targetan yang dicapai dari makna silaturahmi,” jelasnya.
Hmmm….sambil manggut-manggut, bilik pemikiranku mulai terbuka akan pola pikir yang ia utarakan. Kemudian, kami mengajak beberapa teman berbincang-bincang tentang memberi bantuan kepada teman-teman se-almamater yang terkena musibah di Padang hingga membuat kerja sama wirausaha.
Beberapa bulan setelah acara itupun, aku dan teman-teman masih saling berhubungan melalui telepon maupun melalui situs jejaring sosial, termasuk dengan Ibu muda yang bekerja di Osaka itu.
Oh…Indahnya silaturahmi! Terima kasih atas pelajaran yang telah kau utarakan, wahai ibu muda dari negeri Sakura. Meskipun engkau telah berkolaburasi dengan budaya Jepang, tetapi masih tetap membumikan budaya silaturahmi ala Indonesia. Ibu Meina . . . . salam untuk keluarga di sana.


(Sekedar cerita nyata yang boleh dibagikan dan perlu keritikan)

Aku Masih Beruntung

Oleh: Udi Sukrama

Ketika istirahat kantor, aku sengaja nongkrong di sebuah warung rokok di pinggiran jalan. Di sana, aku langsung memesan kopi dan sebungkus rokok. Meskipun aku tahu, perutku yang lapar ini tidak akan berhenti bernyanyi hanya dengan segelas kopi dan beberapa batang rokok, tetapi permasalahan keluarga, pekerjaan, dan keinginan lain sanggup mengerem rasa laparku.

Sewaktu kuteguk kopi, tak sadar ternyata di sebelahku duduk seorang lelaki tua renta memandangiku yang sedang meneguk kopi. Bibirnya dikulum-kulum seolah-olah merasakan kopi yang kuteguk tadi. Mengetahui hal ini langsung saja aku memesan dan menawarkan segelas kopi dan sebatang rokok kepada kakek itu. Orang tua itu mengucapkan beberapa kali kata terima kasih dan mendoakan agar aku selalu sehat dan sukses. Kemudian, ia bangkit dari duduknya dan menuju sebuah kotak berkaca dan dilengkapi sebuah pikulan. Oh….ternyata orang tua ini penjual Bandros (istilah Bandung=kue pancong istilah Jakarta). Dia membawa empat potong kue bandros kepadaku sebagai ungkapan terima kasih. Saat itu aku berpikir untuk membelinya dan akhirnya aku membeli kue Badros itu. Saat itu, berlinanglah air mata lelaki renta itu. Ia lalu mengucapkan terima kasih dan menceritakan bahwa kue yang dijajakannya baru seorang pembelinya. Kemudian, ia pun mengatakan perjalanan untuk menjajakan kue ini dari rumahnya sekitar 2 kilometer. Sementara keuntungan dari hasil penjualannya jika habis terjual sekitar Rp 12 ribu rupiah. Selanjutnya, ia pun bercerita bahwa dua orang anaknya telah pergi mendahuluinya, kini tinggal ia dan istrinya. Jadi, hanya dialah salah satu tulang punggung untuk mencari nafkah.

Aku terenyuh mendengar kisahnya itu, seorang tua renta yang berjuang mencari keuntungan beberapa dari hasil menjual kue bandrosnya itu menafkahi keluarganya menempuh perjalanan 2 kilometer. Meskipun demikian, ia tetap tegar dan dijalaninya dengan sabar.

Hmmm….kisahnya ini sungguh menjadi kekuatan bagiku untuk menjalani hidup karena permasalahanku ternyata tidak sebanding dengan permasalahan hidup yang dialami kakek tua itu. Akan tetapi, hal mendasar yang perlu digarisbawahi adalah mencari uang Rp 12 ribu rupiah sangat berarti untuk kebutuhan hidup keluarganya harus diperjuangkan dengan menempuh jarak yang jauh, itupun jika kuenya habis terjual. Oh…ternyata aku masih sangat beruntung jika dibanding kan dengan kakek itu.