Monday, December 18, 2006

kamar cerpen

Jodoh tak lari kemana …………

Pertemuan Pertama

Perkenalkan namaku Sutita Herawati, nama panggilanku Tita. Umurku menginjak 21 tahun bekerja di sebuah perusahaan yang terbilang bonafide-lah, sebagai sekretaris direktur. Ciri-ciri badan gemuk nggak, kurus nggak, ya kata orang-orang sich seksi gitu lho. Rambut panjang, ikal bergelombang, supel, ehm ...... baik kepada semua orang. Semua yang ada di kantor hampir selalu memuji akan kecantikanku, bahkan direkturpun sampai melirik kepadaku. Semua lelaki mengejar untuk mendapatkan cintaku, baik yang sudah beristri maupun yang masih lajang. Tetapi selalu Tita tolak, soalnya tidak ada yang pas dihatiku, Tita selalu berkata pada lelaki itu “Kita berteman saja, ya”. Tetapi di antara semuanya itu, ada seseorang yang nggak pernah melirik Tita, wakil direktur yang bernama Yadi Maulana. Kebetulan ia seorang pemuda yang tampan sekali, Tom Cruise saja kalah cakepnya, dan masih lajang lagi, tetapi sayang dia judes banget. Tita jadi penasaran, “Apa yang membuat dia selalu cuek terhadap yang ada di sekelilingnya, ya?” gerutuku dalam hati.

Berbagai cara Tita lakukan untuk mendekatinya, pura-pura mengembalikan balpoint lah, meminjam buku lah, atau menanyakan laporan tentang perusahaan. Pak Yadi tetap menjawabnya dengan nada datar. Apa yang ditanyakan olehku selalu dijawabnya biasa, tidak ada senyum, tidak ada rasa, padahal laki-laki kalau melihat wanita cantik, wuih ..... jangankan yang masih lajang yang sudah beristri saja terkadang mulutnya suka mengumbar kata-kata gombal, senyumnya suka dimanis-manisin biar kelihatan manis, tapi Yadi beda dari yang lainnya.

Biasanya aku pulang kantor pukul 16.30 WIB. Sekarang aku harus pulang pukul 20.00 WIB, soalnya ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Selesai pekerjaan, aku langsung pulang. Dalam perjalanan menuju rumah, mulutku komat-kamit, “Aduh, gimana sich, kok cuek banget dia, harus gimana lagi nich caranya supaya tuh yang namanya si Yadi mau ngobrol ama gue ya, nasib ....... padahal lelaki banyak yang antri ama gue pingin cinta gue .... nah elo sombong banget jadi cowok ..... awas elo entar tahu rasa!” gerutuku.

Di persimpangan jalan antara gang yang mau ke rumahku sebuah mobil mercy lewat, dan ups ...... mobil itu telah menciprat badanku dengan genangan air yang ada di jalan, bekas hujan tadi sore. Aku langsung melotot sambil bertolak pinggang dan keluarlah sumpah serapahku itu, “Uh dasar nggak tahu diri, punya mata enggak sich, gue jalan sudah minggir eh mepet aja tuch jadi basah dech badan gue, gue sumpahin elo jadi monyet ...... dasar ......., belum sempat melanjutkan kata-kataku keluarlah dari mobil itu seorang laki-laki tampan langsung meminta maaf “Eh, maaf dek aku nggak sengaja, tadi aku terburu-buru jadi nggak tahu ada genangan air dipinggirnya, maaf ya,” katanya dengan nada memelas.

Aku nggak langsung menjawabnya. Soalnya, ya Tuhan ternyata apa yang ada dihadapanku ini benar apa nggak sich. Kucoba untuk tenang, tapi hatiku tetap gemetar, “Pak Yadi eh .... eh .... saya ........ maaf ......., (pikir gue kok dia nggak tahu gue, padahal dia kan sekantor ama gue). Aku terus bengong sambil mulutku menganga.

“Maaf, siapa Pak Yadi itu dek? Kamu kenapa, sakit? Aku antar ya ke rumahmu?” katanya sambil membuka pintu mobil itu.

Aku seperti terhipnotis oleh perkataannya. Aku ikut saja masuk ke dalam mobil itu. Padahal aku belum mengenal dia, namanya saja aku tidak tahu, tapi ya Tuhan wajahnya itu mirip sekali dengan Pak Yadi. Jangan-jangan dia kembarannya .... ah nggak mungkin .... mungkin saja di dunia ini segalanya mungkin saja, sekarang banyak yang kembar. Hatiku terus bertanya-tanya. Pas aku mau bilang maaf, dia juga bilang maaf, jadi barengan dech. Terus dia langsung ngomong sambil tersenyum “Kamu saja duluan ngomongnya.”

“Eh, maaf tadi aku marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kasar, eng .... anu di sini saja berhentinya, Pak, eh Mas,” kataku. (Oh Tuhan mengapa aku gugup ya dihadapan dia, padahal aku banyak teman cowok dan ngobrol biasa, nggak pernah segugup ini.... oh mungkinkah aku jatuh cinta sama Pak Yadi?).

“Lho, mengapa adek berhenti di sini, memang di mana rumahnya kan baru saja melaju sebentar mobilnya, kok sudah berhenti lagi?” katanya sedikit agak genit.

“Anu .... rumahku itu ..... masuk gang ini, jadi berhenti saja di sini, terima kasih,” kataku mulai gemetaran.

“Ya .... kan kita belum kenalan, oh iya kenalkan namaku Hadi Sitompul panggil saja aku Mas Pul dan kamu siapa?” sambil menyodorkan tangannya.

“Eh, aku Sutita Herawati, panggil saja aku Tita.”

Terus kami kenalan, dan dia ngasih kartu nama, ini kartu namanya:

Dr. Hadi Sitompul

Jl. Cihanjuang No. 1 Jaksel

Telp. 007008009

Hp. 022033044

E-mail: gembol@indo.net.id

Setelah nyampe rumah, aku langsung menuju loteng, dan masuk kamar. Pintu kamar langsung kukunci. Aku rebahan di atas kasur sambil memandang langit-langit kamarku dan mengamati kartu nama yang tadi. Hadi, Hadi, wajahmu seperti Pak Yadi tapi tingkah lakumu jauh berbeda, aku menghela nafas panjang .... bayanganku antara dua pilihan Yadi apa Hadi. Hem, aneh hidup ini, disaat aku ingin dilirik Pak Yadi datang Hadi yang wajahnya sama, tapi hatiku bingung, aku ingin sekali ditanya Pak Yadi, diajak bicara sama Pak Yadi, tapi nggak tahulah. Tak lama kemudian panggilan makan malam datang, Emakku berteriak-teriak....

“Tita, Tita, kamu sudah datang, belum? Ayo makan! Cepat kamu turun ke bawah!” kata Emak sambil menyiapkan makanan untukku.

“Aku nggak lapar, Mak, aku ingin langsung tidur, cape!” teriakku di atas loteng.

“Tumben, tuch anak, kenapa dia, nggak biasanya dia begini, jangan-jangan masuk angin? Coba kutengok sakit apa nggak ya?” gerutu Emak.

Emakku kedengarannya langsung menuju loteng ke tempat tidurku. “Tok ... tok ... Tita .... Tita .... kamu sakit, Nak? Buka pintunya!” pinta Emakku.

Aku langsung membuka pintu dan langsung Emakku memburuku dengan segala pertanyaan yang sudah sering kudengar.

“Kenapa, Nak? Apa kamu dimarahin Pak Direktur? Atau kamu lagi marahan sama teman-temanmu di kantor, atau jangan-jangan kamu lagi jatuh cinta ya ........ ? Ayo terus terang sama Emakmu ini, mudah-mudahan Emak bisa membantumu, kenapa, Nak?” tanya Emakku ingin segera mengetahui jawaban dariku.

Hidupku sungguh beruntung mempunyai seorang Emak yang selalu memperhatikanku dan selalu menyayangiku. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini selain Emakku, ayahku sudah lama meninggal. Emakku hanya seorang penjual pisang goreng di pasar Soreang, tanpa Emakku hidupku hampa, Emakku selalu mendengarkan keluh kesah hatiku. Emakku segala-galanya. Aku melempar senyuman kepada Emakku, sambil berkata, “Nggak apa-apa, Mak, aku cuma cape, tadi pekerjaanku banyak sekali, Mak.” kataku datar. Ya, Tuhan aku berbohong pada Emakku, padahal aku sedang jatuh cinta benar apa yang dikatakan Emak tadi.

“Ya, sudah sekarang makan dulu daripada kamu nanti sakit, Emak lagi yang repot.”

Aku turutin kata-kata Emakku, yang sudah cape-cape menyediakan makanan untukku, sayang sekali kalo nggak kumakan. Keterlaluan sekali aku ini ......

***

Dia Mengatakan Cinta

Nggak terasa sudah pagi lagi. Aku terburu-buru mandi, aduh kesiangan nich ....... Aduh gimana nich ..... Emakku memanggil-manggil aku untuk sarapan pagi ..... rambut belum disisir ..... aduh gimana nich, “Gara-gara semalam membayangkan terus wajah Pak Yadi jadi begini,” gerutuku.

“Eh, Tita, kamu sarapan dulu Nak, ayo kalau nggak sempat sarapan, bawa saja pisang gorengnya ke kantor!” kata Emak.

“Iya, Mak aku bawa saja ya pisang gorengnya, aduh Mak terlambat nich, aku berangkat ya Mak, “Assalamu’alaikum,” kataku terburu-buru sambil mencium punggung tangan Emakku.

“Wa’alaikum salam,” jawabnya.

Aku berjalan terburu-buru, sambil menunduk menuju halte bus, jadi nggak sempat memperhatikan sekitarnya, hingga aku menubruk seseorang laki-laki, “Eh .... maaf, kuangkat kepalaku ya Tuhan wajah Yadi lagi. Dengan pede sekali aku langsung berkata “Hei, Mas Pul kamu kok nunggu di halte bus sich ke mana mobilmu mogok, ya?” kataku serasa sudah dekat sekali padahal baru malam tadi aku berkenalan.

“Oh, kamu SuTita kenapa kamu terburu-buru, takut terlambat, ya? Siapa itu Mas Pul?” katanya dengan suara datar.

Oh, Tuhan!!! Itu kan suaranya Pak Yadi, oh ini gimana sich, hidup ini memang aneh mimpi nggak aku ini, kucoba mencubit tanganku sendiri, aaauuwww sakit ..... aku nggak mimpi, ini kenyataan, oh aku harus gimana dong, belum sempat aku menjawab pertanyaan tadi, Pak Yadi sudah berbicara lagi.

Yuk, kamu mau bareng aku nggak?”

Aku hanya mengangguk tidak bisa berkata apa-apa. Kuikuti dia dari belakang ternyata mobil Pak Yadi diparkir di seberang Halte Bus. Mengapa dia parkir di sana? Apa dia sengaja menungguku? (Ah Tita kamu jangan GR dulu, entar kamu sakit hati). Aku pura-pura tenang padahal di dalam hatiku penuh pertanyaan yang bergejolak.

Selama di dalam perjalanan menuju kantor aku diam membisu, seperti menelan biji kedongdong, tenggorokanku sakit. Aku coba ingin bertanya tapi susah mulut ini untuk bicara, seperti terkunci, padahal di kantor aku mengharapkan sekali suasana seperti ini, di kantor aku selalu berpura-pura untuk menaruh perhatiannya. Ya, Tuhan mengapa diri ini, apakah aku jatuh cinta? Aku takut, seperti yang dikatakan peribahasa bertepuk sebelah tangan. Ya, Tuhan, tolonglah aku, perasaanku ini susah dipendam. Belum sempat aku berkata apa-apa, Pak Yadi sudah duluan angkat bicara, dengan suara agak perlahan tapi pasti.

“Sebenarnya, aku sengaja menunggumu di sini, aku sudah lama mengikutimu dari belakang, mulai dari berangkat kerja, pulang kerja, aku selalu mengikutimu, tapi aku takut ....,” katanya dengan suara datarnya itu.

Tidak diteruskan takut apa Pak Yadi, justru kata-kata itu yang aku tunggu selama ini, ya Tuhan, mudah-mudahan ini tidak hanya dalam mimpi, mudah-mudahan ini kenyataan. Aku hanya terdiam sambil melirik ke arahnya. Begitu sempurnanya Pak Yadi dari wajah sampai tutur katanya lembut, rajin beribadah, tingkah lakunya nggak pernah kurang ajar, seperti laki-laki lain, padahal kalau dipikir-pikir dia itu bodoh sekali. Sudah tajir, cakep, pintar, pokoknya kalangan atas. Mengapa takut hanya untuk mengatakan cinta saja, padahal wanita manapun pasti akan tertarik dengan Pak Yadi. Aku terus berbicara dalam hatiku sambil mengamati wajahnya yang wuiiihhhhh tampan habis ....... Tidak lama kemudian, dia meneruskan lagi.

“Tita, maaf ya, kata-kataku tadi mungkin menyinggung perasaanmu, dan selama aku mengikutimu mungkin kamu akan berpikiran lain terhadapku, tapi justru aku takut untuk mengatakannya ......, (mobil berhenti sebentar, padahal jarak ke kantor sebentar lagi, oh cepat Pak Yadi mau mengatakan apa) mengatakan aku cinta kamu....,” katanya dengan suara lirih dan sedikit mendesah.

Ya, ampun mudah-mudahan ini tidak lagi bermimpi. Selama aku bekerja di perusahaan ini, kurang lebih 2 tahun, dia baru mengatakan cintanya. Ini yang kutunggu, seperti lelaki yang ada dihadapanku kriteria aku, dia tidak pernah mengobral cinta, untuk mengatakan cintanya saja dia sulit. Oh Tuhan aku bersyukur pada-Mu, mungkin do’a Emakku terkabul, ini do’a Emakku yang setiap kali sehabis shalat selalu mendo’akan anaknya semoga mendapatkan jodoh yang baik lagi sedikit tajir (heeee .... biar sedikit matre), Emakku pernah bilang kita memang tidak boleh memilih-milih jodoh! Yang penting satu iman, satu keyakinan, dia mau bertanggung jawab, sayang keluarga, sayang kepada diri kita sendiri itu sudah cukup. Aku terus berkata-kata dalam hati. Tidak terasa sudah berhenti di tempat parkir mobil perusahaan.

“Tita, sekali lagi aku minta maaf aku telah berbuat lancang terhadap kamu, tetapi hati ini tidak bisa dipendam lagi, dari lubuk hatiku yang paling dalam sekali lagi kukatakan I Love You, Tita, aku tidak meminta jawabanmu sekarang, soalnya aku takut kalau kamu sudah punya pacar, ku tunggu jawaban,” katanya sambil membuka pintu mobil.

Sebenarnya aku ingin langsung menjawab, Ya, Pak Yadi aku juga mencintaimu, aku tidak bisa tidur karena memikirkanmu terus, tapi bibir ini rasanya kelu, susah untuk mengangkat. Aku hanya terdiam, terpaku dan ...... ya susah dikatakan dengan kata-kata.

* * *

Memang hidup ini aneh, seperti yang kukatakan tadi. Aku jadi malu sekarang, dulu sebelum Pak Yadi mengatakan cintanya padaku aku selalu ingin mempunyai kesempatan untuk mengobrol dengannya, ingin rasanya mengenalnya, tetapi sekarang semuanya serasa aneh, mungkin ini yang dinamakan Love is blind? Dulu kalau membuat laporan perusahaan aku selalu ingin cepat-cepat bertanya. Sekarang, malah sebaliknya, jangankan untuk bertanya, bertemu saja aku malu rasanya. oh Tuhan tolonglah hamba-Mu ini, mungkinkah ini cinta sejatiku? Aku tidak ingin seperti dalam dongeng-dongeng orang tua dulu atau sinetron yang sekarang-sekarang ini. Orang miskin selalu diinjak-injak sama orang kaya. Aku ingin seperti dongeng Cinderela, aku cinderelanya dia jadi pangerannya (aku tersenyum sendiri). Khayalanku terganggu karena suara telponku berdering. Hah kulihat Line 2 menyala, aduh Pak Yadi, aduh gimana nich kok jadi gugup begini, sabar Tita ..... sabar, tenang ...... tenang. Kuangkat telpon kucoba untuk berbicara.

“Hallo?” dengan hati yang deg-deg-an.

“Hallo? Tita, bawakan aku laporanmu! Kamu sudah buat laporan untuk hari ini, kan?” dengan suara yang lembut.

“Su ..... sud .... sudah, Pak,” kataku terbata-bata.

Kirain Pak Yadi mau minta jawaban cintaku sekarang, uhhh payah aku ini, terus menggerutu di dalam hati. Aduh gimana sich Tita ini, masa laporan saja harus dipinta, biasanya aku ini rajin, sebelum dipinta laporan sudah memberikannya. Baru kali ini Pak Yadi kedengarannya agak beda, suaranya lembut dan penuh kasih sayang, nggak seperti biasanya begitu datar. Hatiku terus menggerutu. Tidak lama kemudian aku ke ruangannya memberikan laporan harian perusahaan. Terdengar lagu sayup-sayup di telingaku lagu Tito Sumarsono:

Tuhan tolong ........

bimbing kami .......

restuilah .....

tali cinta ......

kuatkanlah ....

dan seterusnya

Oh lagu itu datangnya dari ruangan Pak Yadi. Baru saja aku mau masuk, dia sudah membukakan pintunya. Aduh begitu perhatiannya sekarang, dulu boro-boro dibukain pintu senyum aja nggak pernah.

“Ini, Pak laporannya,” kataku kucoba untuk tenang seperti biasanya.

Pak Yadi memperhatikan laporan yang kuberikan seperti biasanya, dia selalu hati-hati dalam bekerja, dia cek semuanya, dari data pendapatan, pengeluaran, dan kas-kas yang lainnya. Aku terus memperhatikannya tidak ada cacat sama sekali, begitu sempurna dia bagiku, sudah cakep perhatian lagi, aku dapat karunia yang paling besar dari Allah. Amin. Semoga ini cinta pertamaku dan terakhir ya Allah, semoga kau memberikan yang terbaik bagiku. Aku terus berkata-kata di dalam hati.

“Ya, semuanya benar, terima kasih ya, Tita. Eh, nanti makan siang di mana kamu? Kita ke KFC ya?” katanya dengan suara yang lembut.

“Eng ..... eng .... iya Pak Insya Allah,” kataku dengan nada agak pelan. Aku jadi gugup begini, padahal nggak biasanya aku begini. Aku menjadi serba salah. Aku beranjak dari kursiku. Kucoba untuk tersenyum, dia membalas senyumanku, oh aku jatuh cinta ..... aku jatuh cinta ...... aku berteriak dalam hati. Ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi mengapa dia sebelumnya harus cuek. Mulai sekarang aku harus lebih cantik di depan dia.

* * *

Dia pergi untuk selama .....

Tidak terasa aku menjalin hubungan cintaku dengan Pak Yadi kurang lebih 3 tahun. Umur cinta yang tidak begitu sedikit. Kami ibarat dua sejoli yang tidak bisa terpisahkan. Emakku sudah menyetujuinya. Begitu juga dengan keluarga Pak Yadi sendiri. Bahkan kami merencanakan ke jenjang perkawinan. Emakku seperti tidak percaya akan jalannya cintaku itu. Setiap aku bertemu, nge-date, aku selalu menceritakannya kepada Emakku. Dia satu-satunya bagian hatiku, curhat kepada Emakku adalah yang terbaik dalam suka maupun dukanya. Halangan maupun rintangan selalu aku dan Pak Yadi pikul bersama, aku selalu diberi nasihat, kalau aku lagi sedih jangan lupa ingat Tuhan, hanya itu kata-katanya yang selalu ada di dalam hatiku hingga saat ini ......

* * *

Sudah dua minggu aku tidak bertemu dengannya, rasanya dua abad aku tidak bersua. Memang sekarang-sekarang ini perusahaan kami disibukkan oleh proyek besar, jadi dia yang diutus ke sana ke mari. Dan sekarang dia sedang bertugas di Luar Negeri, yaitu di London, meskipun begitu kami tidak lepas untuk berkomunikasi. Setiap malam aku selalu dikirimi puisi-puisi indah lewat Hp-ku. Ternyata dia orangnya romantis banget.

Terkadang aku ingin sekali memelukmu

Lebih erat, erat lagi agar tidak terlepaskan

Terkadang aku ingin sekali menemuimu

Mengkhayalmu menjadi pendampingku untuk selama-lamanya

Oh..... angin sampaikan salamku padanya

Jangan biarkan calon pendampingku pergi dari sisiku .......

Dari sekian puisi indah yang ia kirim, puisi yang terakhirlah yang aku simpan dalam hati. Kucoba memutar radio kaset untuk menghilangkan rasa kangenku kepada Mas Yadi, lagu Nella Regar .....

Sudah begitu lama

Ingin aku katakan .....

Apa yang ada dihati ini

Tetapi kutak tahu, bagaimana caranya

Dan aku .... takut kelihanganmu

Kangen .... Kangen .....

Aku kangen padamu .....

Belum sempat lagu itu selesai, aku dikejutkan oleh suara HP-ku

Biiippp.... biiippp .... Itu Mas Yadi.

“Hallo?” kataku.

“Hai, sayang selamat malam, lagi ngapain? Sudah bobo belum? Mimpikan aku ya, yang?” katanya mesra sekali.

“Hai, Mas Yadi? Kapan pulang? Aku sudah kangen nich, Mas lagi ngapain?” kataku dengan suara yang kelihatannya kangennnnnnnnnnn berat.

“Aku besok pulang, kamu mau oleh-oleh apa? Besok aku bawain dech,” katanya.

“Ah, nggak usah Mas, entar berat lagi, pokoknya besok bawa hatimu kembali padaku,” kataku sambil bercanda sedikit.

“Beres, itu sudah aku bawa dengan jantungku, oh iya persiapan nikah kita gimana? Kan seminggu lagi. Tita aku sudah nggak kuat nich pingin memelukmu,” katanya.

“Ih, Mas Yadi genit dech. Iya Mas, aku hampir lupa, ibu Mas yang mengurus semuanya. Pokoknya Mas jangan khawatir dech, besok harus pulang ya, selamat malam,” kataku menutup pembicaraannya.

“Selamat malam, selamat bobo sayang, jangan lupa berdoa kepada Tuhan semoga aku selamat sampai tujuan,” katanya.

Itu kata-kata terakhirnya ....

Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Tapi bagiku menunggu sang kekasih adalah menyenangkan. Aku buru-buru mandi, aku akan menjemput ke Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Aku harus tampil lebih cantik. Tapi.... prak..... aku tidak sengaja menyenggol foto kekasihku. Aku ambil foto Mas Yadi. Oh tidak, sambil kupunguti pecahan kacanya, aku menangis. Ya, Allah mudah-mudahan ini hanya karena kecerobohanku, bukan karena ada sesuatu yang akan terjadi. Oh Mas Yadi mudah-mudahan kamu selamat dalam perjalanan. Tapi hatiku tetap masih teringat Mas Yadi .....

Selama di dalam perjalanan menuju bandara aku hanya diam membisu. Keluarga Mas Yadi merasa heran melihat wajahku yang murung, seharusnya aku bahagia Mas Yadi pulang, tapi mengapa wajahku selalu murung? Tidak lama kemudian, Ibunya Mas Yadi bertanya.

“Tita, kenapa kamu? Lagi sakit?” katanya.

“Oh, eh, nggak, Bu, cuma pusing sedikit,” kataku terbata-bata. Oh, Tuhan untuk menutupi kegelisahan ini aku terpaksa berbohong, mudah-mudahan kejadian pagi tadi tidak sama seperti yang ada dalam pikiranku. Namun, mengapa hati ini gelisah, jangan sampai Mas Yadi pergi, hatiku menjerit. Kenapa aku mempunyai perasaan begini ya.

Mobil diparkir di depan. Aku menuju ke dalam bandara bersama keluarga Mas Yadi. Ya, Allah mengapa perasaanku sekarang hampa. Padahal, sebentar lagi kekasihku datang, aku mencoba untuk bahagia. Wajahku kubuat semanis mungkin. Biar orang lain tahu bahwa aku senang atas kedatangan Mas Yadi, mudah-mudahan rasa kekhawatiranku tidak akan terjadi, ternyata di bandara sudah ada Pak Direktur, menunggu Mas Yadi pulang dari London.

Dari waktu ke waktu, masih nggak ada kabar juga, aku semakin gelisah, aku ke sana ke mari untuk menenangkan hatiku. Oh, itu dia Bos-ku dengan terburu-buru menghampiri keluarga Mas Yadi. Aku melihatnya dengan begitu tegang. Mereka sedang membicarakan apa? Kulihat Ibunya Mas Yadi menangis, semuanya menangis, aku sudah menduga, oh tidak ya Tuhan, aku langsung menangis, kudengar sayup-sayup tapi pasti. Pesawat yang ditumpangi Mas Yadi jatuh ke jurang semuanya nggak ada yang selamat. Oh Tuhan, tubuhku terkulai lemas, aku terjatuh ..... dan tak sadarkan diri ........

* * *

Sadar-sadar aku sudah berada di rumah sakit, selang infus menghalangiku, oh aku ini kenapa? Aku melirik ke kanan dan ke kiri, pandanganku samar, sebelum akhirnya semua yang ada di ruangan semakin terlihat jelas. Emak sedang menangis, .....

“Mak ......... ,” aku bicara perlahan.

“Oh, kau Nak sudah sadar, alhamdulillah ya Allah Engkau masih memberi kepercayaan kepadaku, kau sembuhkan anakku, kau sudah 2 hari koma, Nak,” kata Emakku sambil menangis.

Aku koma 2 hari? Ya Allah, syukurlah aku masih diberi kesempatan untuk melihat Emakku. Tapi rasanya aku ingin mati saja, tidak terasa berlinanglah air mataku. Aku jadi ingat semuanya mimpi atau kenyataankah ini? Memang benar apa yang dikatakan orang-orang jodoh, mati, celaka, rezeki, Allah yang mengaturnya. Inilah yang sekarang aku alami. Hatiku terus berbicara, soalnya aku belum bisa banyak bicara, mulutku terasa kelu, nafasku terasa sesak.

Krek..... pintu terbuka. Kulihat seorang suster beserta seorang dokter datang menghampiriku.

Aku dan Emakku kaget sekali melihat siapa yang datang. Dokter itu wajahnya mirip Mas Yadi.

“Oh rupanya Anda sudah sadar,” kata dokter sambil membuka alat tabung pernapasan.

Oh, Tuhan mimpikah aku? Itu Mas Yadi, dia kembali, dia tidak mati, terima kasih ya Allah Engkau telah memberiku semangat lagi.

“Mas ....... mas tu ...... kul ........ kau,” aku berbicara terbata-bata.

“Nona, anda istirahat dahulu, ya, jangan dulu banyak berbicara, keadaan nona soalnya belum stabil,” katanya dengan lembut dan tersenyum. Dia memeriksa keadaanku. Aku tak lepas menatapnya. Kemudian dokter itu keluar bersama suster tadi, tidak berapa lama Emakku pun menyusul keluar dan kembali beberapa menit kemudian.

Alhamdulillah, Nak, kau sehat, nanti sore kalau nggak ada keluhan apa-apa, dokter mau mencabut selang infusan yang ada dibadanmu. Untunglah kata dokter tidak mengenai syaraf otak. Kekebalan tubuhmu kuat dan berkat karunia-Nya juga, kau bisa sembuh, Nak,” kata Emakku menangis bahagia.

“Ehm, Mak ....... Mak ...... hek .... Mas Tu ..... kul ...... Mak,” kataku terbata-bata.

“Nak, jangan dulu banyak berbicara, kata dokter kamu harus banyak beristirahat, jangan pikirkan Mas Yadi dulu, biarlah dia sudah tenang di sana, kita harus terus memberikan doa semoga dia diterima di sisi Allah SWT, amin,” kata Emakku dengan nada lirih.

Ya Allah, berilah aku kekuatan untuk menghadapi kehidupan ini tanpa dia. Semoga engkau memberikan jalan yang terang bagi Mas Yadi ..... Mas, maafkan aku mas ........ hatiku menjerit-jerit ...... padahal beberapa hari lagi aku akan menikah dengannya. Undangan sudah tersebar ke mana-mana. Oh, aku tak sanggup lagi menghadapinya ..........

* * *

Biarlah Semuanya itu Menjadi Kenangan

Sudah satu minggu aku dirawat di rumah sakit Imanuel, aku pulang ke rumah dijemput oleh keluarga Mas Yadi, aku sedih sekali kalau mengingat kejadian-kejadian itu. Semuanya begitu cepat berlalu, hanya dengan hitungan detik saja semuanya sudah hilang. Semua tetangga berdatangan ke rumahku, teman-teman sekantorku, bahkan Big-Bos pun datang pula menengokku, memberi aku semangat, dan mendoakanku. Kata mereka kita itu harus sabar, harus tawakal, semua sudah ada garis takdirnya. Siapa tahu kamu dapat jodoh lagi yang lebih baik dari Mas Yadi atau seperti Mas Yadi, toh dunia ini tidak selebar daun kelor.

Aku berusaha untuk melupakan semua itu. Biarlah semua itu menjadi kenangan. Aku berada di kamar sendirian. Sepi rasanya, kucoba untuk menghibur diri aku putar radio. Ya ampun ..... lagu itu ......

Tuhan tolong ........

bimbing kami .......

Oh, tidak .... buru-buru aku matikan radionya aku menangis sekeras-kerasnya, sakit sekali hati ini. Lagu itu mengingatkan kembali kepada Mas Yadi pertama aku mengenalnya. Itu lagu yang sering dinyanyikan Mas Yadi kalau berada di mobil berdua bersamaku. Aku menangis keras. Saking kerasnya Emakku lari menghampiriku.

“Tita, kamu kenapa, Nak? Aduh kamu nggak apa-apa, apa yang sakit, Nak?” kata Emakku begitu merasa cemasnya sambil memeluk diriku.

“Mak ....... huk ..... hatiku sakit sekali, Mak ..... rasanya aku tidak bisa bertahan hidup tanpa Mas Yadi,” kataku sambil tak henti-hentinya menangis.

“Sabar, Nak sabar semua itu sudah ada yang mengatur. Emak do’akan semoga kau mendapatkan yang lebih baik, Nak,” kata Emak dengan suara tegas. “Kita serahkan saja semuanya pada Allah yang Maha Kuasa, dia yang lebih tahu daripada kita, perbanyaklah kau berdoa dan berzikir. Nah, sekarang cepatlah tidur kamu harus banyak istirahat. Besok biar kamu kelihatan cantik,” kata Emakku sambil mencium keningku.

Aku hanya mengangguk. Setelah Emak berlalu dari kamarku, keadaan sepi lagi. Aku sendiri lagi...... di dalam hatiku berkata, Ya, Allah sekali lagi kuucapkan terima kasih atas kebesaran-Mu. Kau ambil Mas Yadiku tapi jangan kau ambil dulu Emakku ...... dia yang selalu merawatku, memberiku semangat, pokoknya dia segala-galanya bagiku ..... jangan dulu kau ambil, aku belum sempat memberikan yang terbaik bagi Emakku. Aku ingin membahagiakan Emakku. Sebenarnya aku sudah mempunyai rencana, setelah aku menikah nanti sama Mas Yadi, aku akan membawa Emak ke mana aku pergi. Emak tidak usah lagi jualan gorengan di pasar. Pokoknya aku akan membahagiakan Emak. Manusia hanya berencana, tapi Tuhan yang menentukan segalanya.

* * *

Orang yang Sabar Selalu Mendapatkan yang Terbaik

Dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, dari bulan ke bulan aku jalani dengan perasaan yang begitu tenang, damai, aku turuti semua petuah Emak dan para tetangga. Sekarang aku sudah mulai lagi bekerja, keadaanku sekarang agak lebih baik dari yang kemarin. Aku sedikitnya sudah tidak bersedih lagi. Buat apa aku terus mengurung diri di kamarku hanya untuk memikirkan kenangan yang tiada hentinya aku khayalkan. Yang terjadi biarlah terjadi, pepatah bilang Orang Sabar Kekasih Allah”.

Aku menunggu di halte bus, seperti biasanya. Tapi ini lain, aku akan ke rumah sakit untuk cek-up kesehatan diriku. Di depan gerbang yang mau ke Imanuel aku bertemu dengan dokter itu lagi, wajahnya yang mirip Mas Yadi ....... oh Tuhan mengapa ini, di saat aku mencoba untuk melupakannya, datang wajah yang mirip Mas Yadi, hati ini mulai bergetar lagi, perasaan apa yang ada di hatiku ini? Padahal setiap aku bertemu laki-laki lain selain Mas Yadi, belum pernah hatiku bergetar seperti ini. Tapi setiap aku melihat wajahnya hatiku langsung bergetar, apa mungkin karena dia mirip Mas Yadiku? Kucoba untuk tenang, dengan langkah pasti aku menuju ke ruangan dokter itu.

“Selamat pagi, Dok .... ,” kataku terpotong.

“Oh, kenalkan nama saya Dokter Hadi Sitompul, iya bagaimana keadaan Anda? Apakah Anda merasa lebih baik, Nona SuTita Loreng,” katanya dengan agak genit.

Aku belum sempat menjawab. Itu .... itu ..... suaranya aku pernah hafal tapi di mana ya? Aku lupa ...... aku pernah mengenalnya .......

“Nona, Loreng, Anda kenapa? Anda masih sakit? Coba saya periksa?” tanya dokter itu.

Sambil memeriksa diriku, dokter itu berkata, “Nona Loreng, Anda sekarang sudah sehat betul, bagus,” katanya.

“Eng ..... eng ..... aku sehat dokter, eng .... aku agak mendingan .... eng, dokter maaf aku mau bertanya,” kataku dengan terbata-bata.

“Iya, silakan, mau bertanya apa Nona Loreng,” katanya kembali sambil duduk lagi.

“Tapi, ini masalah pribadi, Dok,” kataku. “Eng .... rasanya aku pernah mengenal dokter, tapi di mana ya, aku lupa? Apakah dokter pernah mengenal saya?” kataku balik bertanya.

Dokter itu tidak langsung menjawab dia malah senyum-senyum. Terus dia mendehem, seperti berat rasanya.

“Em, ingatanmu sekarang belum 100% pulih, tapi sedikit-sedikit akan pulih dengan sendirinya. Aku akan bercerita sedikit, mudah-mudahan ini akan mengobati ingatanmu. Kurang lebih 3 tahun yang lalu, aku berkenalan dengan seorang gadis cantik sekali, yang tidak secara sengaja, aku telah menciprat tubuhnya dengan genangan air yang ada di jalan.”

Dokter itu berdiam sejenak, sekali-kali dia melirik ke arahku sambil melemparkan senyuman yang ...... aduh di mana ya aku mengenalnya ........

Dokter itu melanjutkan perkataannya,

“Dia telah menyumpahi aku dengan sumpah serapahnya, dia memaki-maki tapi bagiku dia malah tambah cantik.” Dokter itu diam lagi, terus dia menatap tajam ke arahku.

Oh, aku sekarang ingat ...... dia .... dia Mas Pul. Ya, ampun mengapa semua ini bisa terjadi? Dia tidak lupa akan diriku, padahal sudah 3 tahun kita tidak bertemu.

“Kau sudah mengingatnya, Tita,” katanya dengan nada lembut.

Dia mengagetkanku. Dia memanggil namaku dengan sebutan Tita itu kan panggilan nama kecilku, padahal sebelumnya dia memanggil namaku dengan sebutan Nona Loreng. Berarti semenjak aku masuk ke rumah sakit ini, dia telah mengenalku ...... Oh Tuhan semua ini engkau yang mengaturnya ....... pertemuan yang kedua kalinya aku bersama Mas Pul.

“Nona, Tita ........ ,” dokter itu mengagetkanku lagi sambil tangannya melambai ke arah wajahku. Dia seakan-akan menarik ingatanku kembali.

“Oh, iya, maaf Mas Pul .... eh, dokter ...... ,” aku berkata dengan gugup sekali.

“Hei, sekarang ingatanmu sekarang telah kembali 100%, selamat, ya panggil saja aku Mas Pul, hee .....,” katanya sambil tersenyum menyodorkan tangannya.

Tanganku ditariknya untuk bersalaman dengannya. Padahal aku masih tidak percaya, mimpi atau kenyataankah? Hanya kata-kata itu yang selalu aku ulang-ulang .........

“Mas, kenapa kau masih ingat aku?” tiba-tiba aku berkata demikian. Padahal mulut ini tidak bisa berkata, mungkin itu datang dari hati sebutlah spontan.

“Sebenarnya, waktu aku bertemu dengan kamu aku ingin sekali mengenal lebih dekat denganmu, tapi sayang waktuku tidak cukup banyak. Waktu itu aku harus buru-buru ke bandara, aku ditugaskan di Irian Jaya selama kurang lebih 3 tahun. Aku tunggu telpon darimu tapi tidak kunjung datang. Padahal harapanku semoga kau cepat menelpon, setiap kali telpon berdering aku selalu deg-degan, tapi yang terdengar hanyalah suruhan aku untuk bertugas, aku ingin sekali menghubungimu tapi ke mana? Kamu kan tidak memberi aku kartu nama?” katanya seolah-olah dia menyesalkan akan kejadian itu.

Aku sekarang baru ingat betul... pertama aku kenalan dengan dia aku kan cepat-cepat turun dari mobilnya jadi belum sempat aku memberikan kartu namaku. Suruh siapa lagi kamu buru-buru ..........

“Tapi biarlah mungkin Tuhan memberikan jalan yang lain, ya dengan cara ini, kita bisa bertemu lagi, oh iya aku juga turut berduka cita, waktu itu aku belum sempat mengucap-kannya, soalnya kau masih shock berat,” katanya dengan penuh perhatian.

“Oh, iya, terima kasih, Dok, eh Mas Pul,” kataku masih heran. “Mas, kamu mengenal Mas Yadi?”

“Tapi kamu jangan kaget. Aku bukan mengenalnya lagi, tapi saudara kembar, aku adalah Kakaknya Yadi Maulana, dia adalah adikku,” katanya sambil tersenyum.

Hah, aku kaget sekali mendengar perkataannya, ya Tuhan cobaan apalagi yang akan kuhadapi ini. Aku benar-benar nggak tahu bahwa Yadi Maulana mempunyai saudara kembar. Masya Allah, padahal aku bersamanya selama 3 tahun, tapi aku belum mengenalnya lebih dalam. Berbagai macam pertanyaan ada dalam benakku.

“Kenapa Mas Yadi tidak bercerita tentang kamu, ya?” kataku dengan begitu polosnya.

Dokter itu tersenyum lagi.

“Sebenarnya dahulu orang tua kami melahirkan anak kembar, Aku dan Yadi adikku, tapi menurut orang-orang dulu, kebetulan keluarga kami masih percaya dengan kepercayaan nenek moyang, dan masih memegang kuat adat. Katanya, sih kalau Ibu melahirkan anak kembar laki-laki atau perempuan harus dijauhkan supaya tidak cepat sakit, biar panjang umur, biar rejekinya tambah terus, katanya lagi kalau melahirkan anak kembarnya yang satu laki yang satu perempuan itu harus dikawinkan. Itu menurut tradisi kami. Tapi kami kan tidak tahu, itu kan waktu kecil. Kemudian kedua orang tuaku menitipkanku kepada temannya di Medan yang kebetulan tidak mempunyai anak. Aku tinggal bersama mereka di sana, aku dibesarkan oleh keluarga Dokter Sitompul, makanya namaku Hadi Sitompul. Sebelumnya keluarga Aku dan orang tuaku selalu berhubungan, tidak putus komunikasi. Tapi, sejak papaku ditugaskan ke Nederland, komunikasi kami jadi terputus. Sejak itulah aku jadi diriku sendiri, tapi sebelum meninggalnya papa, dia berbicara sedikit, katanya aku harus mencari orang tuaku yang asli, aku adalah amanah sahabat karibnya, lalu dia memberikan alamatnya. Iya begitulah ceritanya. Singkatnya, aku bertemu keluargaku, aku hampir nggak percaya bahwa aku mempunyai kembaran, tapi sayang itu cuma sebentar, sebelum aku mengenal lebih dekat dengannya, dia telah dipanggil duluan oleh Yang Maha Kuasa,” kata-katanya agak tersendat, matanya berkaca-kaca, sepertinya menangis.

Aku menghela napas panjang. Ya, Allah Engkau Maha Besar. Hanya itu yang kuucapkan dari lubuk hatiku yang paling dalam. Memang kalau dilihat-lihat, tidak ada bedanya wajah, tinggi badan, matanya, pokoknya semuanya. Cuma yang membedakan adalah sifatnya. Mas Yadi orangnya pendiam tidak banyak bicara. Tapi yang satu ini Hadi Sitompul, atau mungkin karena profesinya sebagai dokter. Ia lebih agresif, dan murah senyum.

Waktu terus berjalan dengan begitu cepat. Silaturahmi kami menjadi suatu hubungan yang romantis. Aku mencoba untuk memahami dia. Walaupun di dalam hatiku masih tidak percaya. Kedua orang tua Yadi juga merasa senang melihat aku bahagia, semuanya merasa senang......

Singkat cerita Hadi Sitompul melamarku, dan aku hidup bahagia telah dikarunia 2 orang anak. Akhirnya aku telah mendapatkan jodohku, dan aku berjanji akan selalu membahagiakan Emakku dan Mas Pul sampai akhir hayat mereka.

Emak pernah bilang Jodoh takkan lari kemana ......... dan sampai sekarang aku bahagia, ya orang sabar pasti mendapatkan yang terbaik ..........

Semoga cerpen ini memberikan gambaran kepada para pembaca bahwa Kita bisa berencana tapi Tuhan yang menentukan segalanya. Saya minta kepada para pembaca untuk mengambil hikmahnya amin.......

The End

No comments: