Sunday, May 27, 2007

galeri puisi

Mesin Waktu

matt

Menyibak malam menembus kelam

Beranjak pendaran memburu risau angan

Membedah mimpi menantang ragu

Walau tak pasti kutembus waktu

Kini mimpiku sejati dalam asa

Kupastikan diri, ini nyata

Kupinang dia dara kesuma

Yang kupandang bisu di bingkai kata

Segeralah memuai nyata

Si puan yangs etia sepenuh jiwa

Waktu tak pernah mau menunggu

Beranjak berlalu penuh lugu

Aku terpekur di sudut asaku

Menatap mimpi khianati kalbu

Kesumaku adalah kerawai malamku

Asaku kering, mimpiku layu, si puan kurindu

Masa memang tak henti putaran

Menggerus mimpi bersama kumandang adzan

Membawa pendaran sadarkan angan

Bahwa puanku sebenarnya kesuma

Punya cinta … bukan taksa…

Namun rekahnya … tak lagi kujumpa ….

Bandung, 25 Januari 2007

kamar cerpen

Rahasia dalam Puisi

By. Sun

Septi bicaralah!”

Dia hanya terdiam, sambil menyodorkan secarik kertas. Kemudian aku membacanya.

Aku seperti serpihan kaca yang tak nampak

Duduk termenung dalam dunia gelap

Aku hanya berteman angin sepoi yang dingin

Aku tak melihat bintang atau kunang-kunang

Aku hanya menyimpannya dalam ranting yang patah

Ku simpan ranting itu dalam pohon yang layu…

Entahlah aku tidak mengerti apa maksud temanku Septi, dia menjadi diam mengurung dirinya, sudah seminggu tidak mau bicara dengan siapapun. Bahkan makan pun tidak mau, dia seperti kehilangan nyawa. Mungkin hal ini karena kematian Erik kekasihnya yang mati mendadak.

“Maaf Bu, aku tidak bisa bicara dengan Septi. Dia hanya memberikan aku secarik kertas berisi puisi yang tidak jelas maksudnya.”

“Tolonglah Nak Yuli, bantu Septi kembali seperti semula, dia sangat trauma. Dia satu-satunya saksi kematian Erik kekasihnya. Mungkin di dalam puisi itu terdapat banyak rahasia.”

“Ya, mungkin aku bisa mencoba menyelidiki masalah ini.”

Aku mulai masuk ke kamar Septi lagi. Aku melihat Septi sangat lemas, dia menatapku dengan tajam. Dia tetap terduduk di meja belajar memegang pulpen dan memegang beberapa helai kertas. Aku tidak menyangka gadis periang sepertinya yang cerdas dan penuh semangat akan tampak tidak berdaya karena kehilangan kekasih yang dicintainya. Banyak psikiater yang yang mundur karena kebisuannya. Dia baru mau komunikasi dengan tulisan, itupun karena aku sahabatnya. Septi adalah seorang penulis skenario yang handal dalam berbagai pertunjukkan teater di kampus. Polisi juga tidak bisa mengajukan dia sebagai saksi di pengadilan karena mentalnya terganggu.

“Septi, bolehkah aku bicara denganmu?”

Lagi-lagi dia menyodorkan secarik kertas kepadaku. Aku baca kembali isi kertas tersebut.

Siang itu dunia menyapaku

Mengajakku terbang ke Singgasana Pradana

Di sana, di tempat itu, aku bersamanya

Sariku hilang bersama angan-angan

Kami hempaskan semua luka hati

Di sana pula tanda cerita ini berakhir

Ya Allah…aku mulai bingung, apa maksud sarinya hilang, melepaskan luka hati. Tanda apa? Apakah artinya tanda atau bukti kematian Erik. Ya, mungkin jawabannya adalah puisi-puisi ini. Septi memang hebat cerpenis yang handal. Meskipun jiwanya terguncang, tetapi dia tetap berkomunikasi dengan puisi. Kasus ini cukup rumit karena kasus pembunuhan Erik mengundang banyak pertanyaan. Erik adalah putra dari seorang pejabat, dia mati dalam keadaan sangat mengerikan. Tubuhnya terpotong-potong, sehingga pihak keluarga ingin kasus ini selesai dengan tuntas.

Septi menyodorkan kertas dan sebuah foto. Foto ini adalah foto kami berlima, yaitu Aku, Septi, Erik, Risa dan Erwin. Apa maksudnya? Apakah di antara mereka adalah salah satu pembunuhnya? Aku mulai pusing…Septi muntah-muntah, dia menjerit histeris dan pingsan. Akhirnya, aku buka tulisan dalam kertas itu.

Di sini terdapat banyak penghianatan

Ku kira dia Malaikat

Ternyata pisau berkarat

Ku kira dia bintang

Ternyata dia lebih dari binatang

Ku kira persahabatan akan suci

Ternyata tragedi…

Aku mulai tidak sanggup lagi menghadapi Septi, aku ingin cepat pulang dan keluar dari kamar itu, tapi aku melihat sebuah kertas tergeletak di bawah sudut kamar. Aku cukup tertarik untuk membacanya, aku ambil kertas itu dan membacanya.

Aku yang telah mengakhiri bintang hatiku

Karena ku tak sanggup melihat dia satu jiwa dengan sahabatku

Si bunga kampus

Aku akhiri nyawa keduanya, sampai berkeping-keping…

Tidak…tidak…kau membunuh mereka, di mana? Di mana? Kau buang mayat Risa…

****

Ingatlah persahabatan adalah investasi yang sangat bijaksana

Harga kehidupan adalah kebersamaan. (Az-Zahid)