Sketsa Topeng
Matt
Apa yang aku cari dalam hidup ini? Aku tak tahu, bahkan jalur hidupku pun remang-remang. Aku seolah boneka hidup yang dibentuk oleh tangan ibuku lewat cetakan yang terbuat dari idealisme overproteksinya. Namun seminggu yang lalu, sepasang mata melumat habis kabut pikiranku yang selama ini mengutukku sesosok makhluk introvert. Seolah musim semi di hatiku, tatapan itu melelehkan hatiku yang beku dari masim dingin kepanjangan. Bunga-bunga tengah bersemi indah saat senyumnya tersungging di seraut wajah mungil, putih bersih, meski tanpa polesan bedak.
Lukisan wajah di langit-langit kamarku yang selalu kulukis setiap malam mulai kutuangkan dalam sebuah kanvas. Ya, gairahku kembali bersemi seperti bebunga di hatiku. Kini aromanya telah merasuk alam pikirku dan mendidihkan imajinasiku dan harus aku tuangkan, harus!
***
Entah harus berapa lama lagi aku pasang topeng ini? Pegal rasanya memasang senyum di wajahku yang usang. Entah harus berapa lama pula aku usung bayangan masa laluku? Padahal waktu tak pernah mau menunggu. Hari itu... aku masih ingat dengan jelas sesosok tubuh yang terbalut kafan dimasukkan perlahan ke dalam liang lahat, hingga akhirnya para penggali kubur menimbunnya dengan tanah coklat berlumpur oleh rintikan hujan. Seorang ustadz mengakhiri upacara pemakaman dengan rentetan nasihat dan do’a yang hampir tak bisa kudengar karena riuh angin yang menerpa pepohonan bambu serta pikiranku yang masih tak berkompromi dengan kenyataan. Gelegar guntur bersahutan seolah mewakili jeritan hatiku yang tak mampu memahami semua ini. Air mataku membuncah deras namun habis dilumat hujan yang semakin menderas. Rasa pedih, sakit, dan ketidakmengertian telah menggusur kehangatan dan keceriaanku ke dalam tanah cokelat berlumpur waktu itu.
Setelah hari kematian Mama, mentari tak mampu lagi menghangatkanku meski setiap pagi menerobos masuk tanpa permisi lewat jendela kamar. Namun benih antipati terhadap makhluk bernama Adam berfotosintesa dan tumbuh subur. Setiap laki-laki adalah sama, sejenis dengan Papa, orang yang paling Mama cintai dan pula yang menggiringnya ke liang lahat. Terkubur bersama keceriaanku, membuat hatiku beku. Hari-hari kulalui dengan topeng yang kupampang rapi menutupi gari-garis wajahku yang kusam dan kaku meski kuakui aku lelah.
***
Hari itu... adalah hari di mana mentari terbit kembali di hatiku. Seraut wajah membuat hatiku kembali berbunga. Hamparan salju telah berubah menjadi hamparan padang rumput yang menghijau. Wajah itu tak mampu kulupakan, menyulut api imajinasiku hingga berkobar membakar kepala dan seluruh pikiranku. Dia adalah inspirasiku, auraku. Namun, kenapa sulit sekali aku tuangkan ke dalam kanvas putih ini? Apakah harus kutuangkan dengan cat emas atau serbuk bebatuan berharga dari seluruh dunia? Yang dirampas dari para raja ataupun kaisar? Kedua tanganku seolah asing dalam meretasi garis-garis wajah itu, padahal aku masih menyadari kepiawaianku.
Hampir tiga jam aku pandangi kanvas putih ini yang telah berlepotan dengan garis-garis taksa. Biasanya aku begini jika tidak mood. Ya setiap seniman harus ada mood untuk berkarya karena ini berurusan dengan estetika. Jiwa dan pikiran harus menyatu untuk mencapai muse dan bersublimasi menuangkan nyanyian dewa dewi dan segala bentuk keindahan surga. Namun kali ini beda. Rupanya aku hanya mampu melukiskannya di langit-langit kamarku. Mungkinkah karena matanya yang mati atau senyumnya hanya topeng belaka?
***
Aku tidak berarti apa-apa sekarang. Selain topeng yang kukenakan, kini akupun boneka yang dikendalikan oleh rasa kecewaku atas kenyataan dan trauma masa lalu. Kekecewaan yang kudapat dari orang yang seharusnya aku hormati dan patuhi semakin menghisapku ke lembah egoisme keakuan yang kronis. Pandanganku cukup satu arah, Papa salah, ia penyebab kematian Mama, dan aku sangat kangen Mama. Meskipun ia berulangkali memohon maafku dan jelas benar rona penyesalan terpancar di matanya. Aku percaya sinar mata tak pernah berbohong, namun penyesalan Papa tak mampu mencairkan suasana seperti dahulu, karena keceriaanku telah terkubur bersama jasad Mama.
Kenapa... kenapa makhluk bernama Adam harus berbagi cinta dengan lebih dari satu Hawa, sedangkan Hawa hanya mendambakan satu Adam untuk melabuhkan satu-satunya perasaan dan hatinya? Kenapa pula Hawa mendambakan sesosok Adam sebagai penjaga hatinya? Padahal ia tahu sifat fitrah sang adam, seperti aku yang mulai merasakan kesunyian dan kehampaan hidup. Jauh di dasar hatiku, di belantara antipatiku, aku diam-diam mendambakan seorang pangeran berkereta kencana menjemputku dan membawaku ke istananya. Namun bangunan persepsi yang terbangun dari tumpukan egoku selalu menghalangiku hingga aku terbentur ragu. Seperti keraguanku pada pandangan sepasang mata yang menubrukku hari itu. Dan kemarin tanpa sengaja sepasang mata itu singgah kembali di otakku lewat saraf optik. Ada cahaya ketulusan yang terpancar di sana dan menyadarkanku bahwa aku adalah sesosok hawa, sebenar-benarnya hawa dengan segala kekurangannya.
***
Kemarin pandanganku kembali tertumbuk pada sepasang mata berbulu lentik. Rupanya kali ini cahaya mataku diizinkan singgah. Namun bibir mungilnya tetap terkatup, seperti bibirku yang enggan terbuka, lidahku kelu seolah beku. Hanya dua pasang mata yang bicara hingga akhirnya kutundukkan pandangan karena itu syaitan kata ibuku. Kiranya segala ajaran dan kedisiplinan yang kudapat dari Ibu cukup kuat menghuncam. Sejak ayah pergi bersama mimpinya, Ibu bertugas menggantikan ayah sebagai kepala keluarga tanpa meninggalkan sejengkal pun fitrahnya sebagai seorang ibu.
***
”Papa mau menikah lagi?!”
”Ya, sayang. Papa mohon restumu.”
Untuk beberapa saat aku diam tak menjawab. Pikiranku mengawang. Entah aku harus bicara apa. Apakah Papa akan menggali lubang kesalahan yang sama? Berpaling dari pasangannya dan mengejar sekilas pandangan seperti dulu yang dilakukannya pada Mama.
”Dengar, sayang, dulu Papa memang salah telah berpaling dari Mama, karena sepasang mata telah mencuri perhatian Papa dari Mama. Papa juga sadar kamu sangat kecewa akan renggangnya hubungan kami hingga memudarkan keharmonisan di tengah kita. Dan akhirnya leukemia meredakan permusuhan kami. Namun Mama harus pergi untuk selamanya.”
Air mataku tak kuasa kutahan. Bayangan Mama berkelebatan dalam benakku. Aku masih ingat waktu ulang tahunku. Mama menghadiahiku beberapa lembar uang ribuan, sambil tersenyum Mama menyodorkannya kepadaku. ”Maafin Mama, Sayang, Mama tidak sempat membeli kado buatmu.” Kulihat wajah Mama semakin pucat dan tampak lelah. Sambil mengecup keningku Mama menyalamiku ’selamat ulang tahun’. Betapa bodoh dan polosnya aku waktu itu, kau tak menyadari bahwa itu adalah ucapan selamat ultahnya yang terakhir.
”Papa sadar, Papa salah, Papa menyesal, Sayang. Papa tahu kamu sangat merindukan Mama, dan Papa pun tahu kamu sangat kecewa dan membenci Papa, Papa pun merasakan hal yang sama, tapi itu tidak akan mengembalikan Mama ke tengah kita lagi. Waktu untuk Mama telah usai dan hidup kita masih terus barjalan. Sayang, izinkan Papa menebus kesalahan-kesalahan Papa, izinkan Papa menyayangimu dan menjagamu, izinkan Papa menghadirkan sesosok mama untukmu.
Kulihat sorot penyesalan dan ketulusan pada sepasang mata yang mulai mengaca, dan semakin jelas ketika buliran air matanya mulai meleleh dan deras membasahi pipinya yang mulai kusam dan lelah. Aku tak sanggup berkata apa-apa selain kerinduan yang tak sanggup kubendung.
”Papa....”
Aku berhambur ke pelukannya. Kubenamkan kepalaku ke dalam pundak Papa. Kulabuhkan segala beban dan lelahku bersama tangis. Ya harus kuakui aku memang terlalu lelah dengan segala kebencian dan permusuhan ini. Papa memang benar roda hidupku masih berputar, tak seharusnya kusiakan karena kecewa yang berkepanjangan.
”Papa harus janji....hiks... pernikahan ini adalah yang terakhir... hiks... aku tidak ingin mengalami hal yang sama, Pa... hiks... sakit....”
Papa tidak berkata apa-apa, namun pelukannya semakin erat.
***
Beberapa hari ini kebekuan di wajah Ibu semakin meleleh. Kini perlahan kurasakan kehangatan mentari pagi memancar di sana. Hingga suatu ketika Ibu memanggilku karena ada sesuatu yang ingin ia diskusikan.
”Al, bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang mau melamar Ibu?”
Aku sedikit kaget mendengar pertanyaan Ibu. Aku kira Ibu akan terus menerus tenggelam dalam kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap laki-laki.
”A-Alif, setuju aja, Bu. Asalkan Ibu bahagia, tapi apa Ibu sudah yakin dengan pilihan Ibu ini?”
”Al, sejujurnya Ibu masih trauma dengan kejadian dulu, tapi insya Alloh, kali ini yang terbaik. Ibu pun telah mempertimbangkannya lewat istikharoh.”
Aku sebenarnya senang jika Ibu menikah lagi. Dengan begitu Ibu tidak perlu melewati hidupnya yang mulai beranjak senja dengan sepi di dalam kesendirian.
Setidaknya Ibu telah menemukan labuhannya. Lalu bagaimana dengan diriku? Aku masih bermain-main dengan seraut wajah itu. Seraut wajah yang telah menyita waktu dan perhatianku. Tak ada yang ingin aku lukiskan selain seraut wajah yang selalu tergambar di langit-langit kamarku. Tiba-tiba tekadku untuk menyelesaikan lukisanku menyala kembali. Aku harus menyelesaikannya.
Kukerahkan segala rasa, inspirasi, dan intuisiku, dan kusalurkan pada kuas, kugoreskan di atas kanvas yang berisi seketsa wajah, yang selalu gagal aku tuntaskan. Kini aku benar-benar bertekad untuk menyelesaikannya. Seharian penuh aku mengunci diri di dalam kamar demi terciptanya karya terbaikku. Lukisan purnama hidupku.
***
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu Ibu pun tiba. Aku hanya mengenalnya sekali saat laki-laki itu melamar Ibu. Ia datang sendiri tanpa ditemani siapapun. Waktu itu ia hanya mengenakan kemeja putih dan celana panjang abu-abu. Lipatannya tampak licin, mungkin karena sering disetrika. Setelan jas hitam beludru menggantung di tubuhnya yang bulat. Senyumnya ramah saat menyapaku. Sorot matanya memproyeksikan kebijaksanaan dan kewibaan seorang lelaki dewasa yang telah banyak merasakan pahit getir dan manisnya hidup. Dan detik-detik ini adalah salah satu pengalaman manisnya yang akan segera ia rasakan untuk menghadapi masa-masa sulit yang akan datang.
Setelah beberapa menit berlalu, rombongan pengantin laki-laki tiba. Namun ia hanya ditemani seorang perempuan. Seseorang yang... masya Alloh wajah itu....
***
”Ya Tuhan, lelaki itu... bukankah aku pernah bertemu dengannya?” aku sontak kaget dengan kenyataan yang ada di depanku. Aku dan Papa terus melangkah menuju singgasana calon Mamaku. Langkah Papa berderap penuh bangga dan bahagia. Tapi perasaanku berkecamuk tak tentu.
***
Upacara pernikhan diadakan sederhana dan hanya mengundang kerabat terdekat dan beberapa kenalan dari keduabelah pihak. Di sela-sela gemuruhnya lantunan nasyid dan obrolan para tamu, aku memberanikan diri untuk menyapa anak dari seorang lelaki yang telah syah menjadi ayah tiriku beberapa menit lalu.
Ia menghampiriku, lalaki yang kini mejadi saudara tiriku. Ia tersenyum ragu dan tatapan kedua matanya selalu berpaling setiap kali kami beradu pandang.
”Assalamu’alaikum...” ia menyalamiku.
”Wa’alaikum salam...” balasku.
”A-aku punya sesuatu untukmu, bisa ikut aku?”
Aku tak berkata apa-apa hanya mengangguk dan mengikutinya dari belakang.
Aku dibawanya ke ruang belakang. Sebuah ruangan yang sarat dengan bau cat dan minyak. Kaleng-kaleng kosong ditata sembarangan, kertas-kertas dan bingkai kosong berserak di lantai dan segala penjuru. Ia membimbingku menuju sesuatu yang ditutup kain putih. Ia menatapku sejenak, kemudian tersenyum. Tanpa berkata apa-apa ia pun menyingkapkan kain putih itu. Dan kulihat jelas sebuah maha karya yang terpagut di atas kanvas, sebuah lukisan dengan polesan dan paduan warna yang sempurna, sebuah lukisan wajah yang indah... itu lukisan wajahku!
”Itu adalah karya terbaikku. Aku telah mengerahkan segala kemampuanku untuk membuatnya. Kamu tahu? Sebelum aku tuangkan ke atas kanvas aku telah lama melukisnya di atas hamparan kanvas kalbuku. Aku melukisnya sejak pertama kali kita bertemu.”
”Hidup ini memang lucu dan aneh, atau mungkin dunia ini yang sempit? Namun yang jelas ini adalah takdir kita.”
”Ya, kita tak pernah bisa keluar dari lingkaran takdir. Dan semoga takdir bisa membawaku pada suatu hari di mana kita bisa berlabuh dalam satu biduk.”
Aku tak sanggup mengatakan apa-apa. Bagiku semua ini cukup membingungkanku. Tapi satu hal yang aku sadari saat ini. Topengku telah pecah berkeping dan senyumku kini adalah nyata senyumku. Senyum yang menyembul dari tungku relung hatiku yang bahagia di tengah kebingungan yang tak kupahami.
Bandung, 26 Agustus 2006
No comments:
Post a Comment