Monday, December 18, 2006

kamar cerpen

Sebuah Fragmen di Bawah Ketek

Matt

Hari ini setelah beberapa minggu kulalui, kurasakan waktu tak lagi bergulir cepat, satu detik terasa satu menit, satu menit terasa satu jam, satu jam terasa satu hari, selanjutnya bisa dibayangkan bagaimana aku melalui berminggu-minggu menghabiskan waktu di ruang sumpek ini. Kejar deadline hampir kiranya lebih dahsyat memompa jantung dan menset otak untuk terus dipacu, ketimbang zat-zat caffein yang sering kuteguk di saat kantuk. Isu Sangkuriang syndrom kembali terasa, dan semakin santer dimana naskah sekelas bungkus kacang harus menjelma menjadi sebuah karya berharga puluhan ribu rupiah, dan tentunya menghasilkan pendapatan milayaran rupiah bagi sang owner. Kalau aku tidak setuju dengan sistem tersebut, besok pintu gerbang terbuka lebar dan istriku tidak dapat makan, hingga si jabang bayi-ku kurang gizi. Kira-kira begitulah filosofi kasarnya.

Kondisi serupa pernah aku rasakan setahun yang lalu ketika aku pertama kali bergabung dengan perusahaan ini. Statusku masih single pada waktu itu, dan jam kerja seperti ini pun tak jadi masalah bagiku. Itu adalah salah satu gaya hidup metropolis, pendapatku dengan nada sedikit angkuh. Sebagai perjaka yang baru lulus kuliah kupilih pekerjaanku ini sebagai latihan penaklukkan samudera hidup. Jadilah aku dengan darah muda yang bergejolak mengarungi jalan hidup yang kupilih sebagai arah kedewasaan, walaupun pada akhirnya aku sadari bahwa aku telah bermetamorfosa menjadi manusia setengah mesin-kerja larut selama tujuh hari sampai tak kenal waktu demi terpenuhi deadline dan tentunya ego presdir.

“Kenapa lagi kamu, Man?” sesosok tubuh tambun menyembul dari balik pintu toilet membuyarkan lamunanku.

“Ah… biasa, perutku nih, rada sedikit error.” Jawabku dengan kedua tangan memegangi perut sambil sedikit meringis.

“Eeehh… kamu mah. Kambuh lagi ya?” lanjut Permana sahabatku si tubuh tambun.

Aku tak menjawab pertanyaan Permana dan terus melengos menuju ruangan sumpekku dengan ringisan yang kupakai sejak keluar dari toilet.

***

Wajahku masih mengekspresikan kelelahan, kurang tidur, kecewa, rasa perih dan mual yang melilit lambung serta ususku. Kubayangkan ususku semerawut seperti benang kusut dan lambungku yang bengkak membiru seperti seonggok daging busuk. Aku bukan ahli biologi, juga bukan seorang pembual, tetapi ini yang kubayangkan, sebuah deskripsi imajinasiku dari kondisi fisik yang patuh akan hukum alam.

Hukum alam pada kenyataan hidup adalah sebatas teori bagiku, profesiku, dan jabatanku serta perusahaan ini. Buktinya dengan keadaanku seperti ini meja kerjaku tak pernah sepi dari tumpukan kertas-kertas laknat yang tak pernah surut dan tak satupun, yang, menurut versiku, ‘waras’. Satu nasakah berhasil diselesaikan dengan segala kelengkapan normatifnya, belasan telah mengantri di belakangnya, seperti naskah sejarah yang berserak di antara buku-buku sumber lainnya. Mau tidak mau naskah ini harus segera selesai malam ini, walaupun harus lembur sampai lewat tengah malam.

Kedua mataku mulai memicing seperti terkena silau, karena lelah mencerna kata-kata anrh bin ajaib, seperti tulisan cerita anak TK yang bercerita tentang dunia, sedangkan kepalaku mulai terasa berat. Rasa pusingku kembali merangsek mencengkram kepalaku hingga batok belakang. Tak ada yang aku butuhkan saat ini selain kasur dan bantal empuk untukku merebahkan tubuh lelah ini. Selain itu, kubayangkan betapa indahnya kala kulempar segala kepenatan yang berjejalan di dalam otakku beserta naskah-naskah itu ke tong sampah, atau tungku pembakaran. Tapi itu hanya mimpi, sebuah euforia semu. Ah! Persetan dengan semua itu, kusandarkan saja tubuh ringkih ini pada penopang kursi…”heuuahhhh…..hhhh” aku menguap lebar sambil mengangkat kedua tangan ke udara. Kutarik semua saraf-saraf tegangku dan kukendurkan bersama hembusan nafasku, jelas sudah bau kelelahan merebak ke mana-mana.

Kuputuskan untuk beranjak dari mejaku untuk sejenak jauh dari tumpukan kepenatan. Aku berlalu sedikit loyo menghampiri si tambun, Permana. Tampaknya ia begitu sibuk dengan tuts-tuts keyboard komputernya, ia sedang mengolah gambar. Sepertinya papan keyboard tersebut telah mejelma menjadi taman bermain jari jemari Permana yang begitu lincah meloncat-loncat dari tombol satu ke tombol yang lain. Tanpa permisi kujatuhkan diri di atas kursi kosong yang berada di samping tempat duduknya.

“Kenapa, Man?” Sapanya tanpa sedikit pun matanya berpaling dari layar monitor.

“Na, kamu masih betah di sni?” kujawab pertanyaan Permana dengan sebuah pertanyaan.

“Bukan betah, tapi butuh.”

“Tujuan hidupmu apa sih, Na?”

“Kamu sendiri?”

“Menjadi sukses, dalam artian aku bisa memilih apa yang kumau.”

“Selama kita di sini hal itu adalah mimpi.”

“Kamu memang benar, hal itu adalah mimpi di sini, tapi seharian ini aku berpikir dan aku sadari waktuku kini bukan milikku sendiri. Sebagian waktuku adalah hak anak-istri dan sebagian lain adalah kehidupan sosialku.:

“….” Permana terdiam, namun raut mukanya mengisaratkan persetujuan akan topik pembicaraan yang baru saja kubuka.

“Setahun yang lalu aku terima saja jam kerja seperti ini. Karena kulihat sebuah idealisme perjuangan pengukuhan karir.”

“hmmm…” Permana mengangguk-angguk seolah mencerna kata-kataku. Kini ia menghentikkan jemarinya dan duduk menghadapku.

“Kamu tahu, Na? Kamu sebenarnya lebih beruntung menjadi seorang ilustrator. Kamu tahu, selama ini aku telah diperkosa.”

“Lho?! Maksudnya?”

“Kukira idealisme education oriented yang menjadi basis usaha perushaan ini betul-betul berkibar mencakar langit. Namun, belakangan kusadari bendera idealisme itu hanya berkibar setengah tiang, mungkin hanya seperempatnya.”

“Lalu sisa tiang lainnya?”

“Ya dipake buat bendera bisnis murni. Artinya berbisnis dengan label pendidikan, atau pendidikan sebagai lahan bisnis.”

“Lantas kenapa kamu pikir aku lebih beruntung?”

“Ya setidaknya kamu tidak menjajakan kemampuan akademismu untuk mencari makan.”

“Nah! Mencari makan, kamu bilang idealisme pendidikan harus betul-betul terpancang, bukan terpaut bisnis.”

“Memang benar begitu, tapi yang kumaksud dengan idealisme itu kita dibayar karena kreativitas kita dalam mengolah atau bahkan menciptakan sebuah sistem bahan ajar, sehingga menjadi inovatif, cerdas, mencerdaskan, dan tentu saja best seller.”

“lalu…?”

“Nah, yang kurasakan justru kita dengan armada tempur yang pas-pasan harus dapat menyelesaikan naskah yang banyaknya segunung, plus dengan tempo sesingkat-singkatnya. Kalau begitu apa namanya kalau bukan meminimalisir pengeluaran untuk hasil yang maksimal.”

“Terus, kita bagaimana?”

“Kita… ya kita hebat!”

“Maksudmu…?”

“Dulu kita bermetamorfosis menjadi manusia setengah mesin, dan sekarang kita telah diangkat menjadi manusia setengah dewa-memiliki enam tangan dan tiga kepala atau mungkin lebih dalam satu badan.”

“mmmm….”

***

Obrolanku tadi malam dengan sohibku Permana kusadari sebagai sebuah proyeksi kegelisahanku, yang mulai jenuh dengan sebuah kehidupan yang statis. Terus terang aku tidak mau statis karena itu artinya mati, aku ingin dinamis, aku ingin hidup seribu tahun lagi, seperti yang pernah diteriakkan sang binatang jalang. Mungkin antara aku dan si binatang jalang mengalami satu termin kegelisahan yang sama, namun dalam konsep yang berbeda. Akan tetapi, rasa sembelit yang meradang sekian waktu untuk sementara terobati. Aku mempelajari sesuatu saat kulepaskan beban perutku tadi pagi, hampir mirip filosopi tai chi, yang menurut pemahamanku kira-kira begini, jika merasa terbebani, lepaskanlah bebanmu meski harus ngeden dengan segala peluh, bukankah hidup ini adalah perjuangan? Sebuah filosofi dasar kehidupan yang kutemukan di toilet.

Biarkan hidup mengalir… lalu apa hubungannya dengan kerjaanku? Hal ini kuartikan bebas saja dan hubungannya dengan perekerjaanku, ya jadilah manusia setengah mesin sejati, jangan ada sesal, apalagi bermimpi menyusun sebuah idealismeg tentang kreatif imaji. Lupakan itu semua, karena berpikir seperti itu di tempat ini seperti sembelit, atau mencret yang ditahan. Biarlah mengalir, ikuti aturan main, kerja lembur tiap hari, masuk pagi pulang subuh, jangan pikirkan yang lain, pikirkan saja bagaimana timbunan naskah sampah bisa menjadi karya berharga sebanyak apapun sesuai permintaan yang punya hajat, dan dalam tempo, ‘harus bisa’, sesingkat mungkin, karena proyek seperti waktu, tak pernah mau menunggu. Dengan begitu, tidak perlu mempersalahkan siapapun, jika pun keukeuh harus ada kambing hitam kiranya itu adalah aku yang secara sadar menerima tawaran bersedia ditempatkan di bawah ketek. Jika sudah begitu ya makan saja segala konsekwensinya. Jangan melawan kalau tidak ingin tercekik. Biarkan mengalir… kiranya itu yang menjadi penawar bau yang menyengat dari tetesan keringat yang bercucuran dari rambut-rambut keriting.

***

Kecut kurasa bau yang kucium setelah kusadari posisiku tempo lalu. Tapi, tak ada raut kerung ataupun bibir yang menyungging dari wajah-wajah seniorku. Mungkin karena mereka tak punya pilihan lain. Bila dilihat dari gerak-geriknya bisa kusimpulkan mereka telah berubah menjadi mesin, beregerak dengan irama statis dan kaku. Tak habis pikir kubertanya-tanya, apa mereka sadar bahwa mereka punya jiwa dan bisa bicara?

Salah seorang manusia mesin, rekanku, menegurku dengan untaian kata mengiba. Apa yang bisa aku perbuat jika sudah karatan seperti ini. Di tempat lain aku mungkin hanya seonggok rongsokan terbengkalai, hanya dibutuhkan dan diburu para pemulung untuk ganjal perut satu hari, dan jika beruntung bisa untuk jatah dua hari.

Belum sempat kujawab keluh kesahnya datang lagi manusia mesin lainnya, wajahnya penuh lelah dan kepasrahan. Kuberanikan diri untuk bertanya, kenapa kau tak lari saja dan ubah dunia, setidaknya biarkan kakimu lincah menari, atau biarkan udara pagi sejuk singgah di kepalamu membisikan tentang mimpi yang pernah kau bangun kala belia dulu. Ah itu mah sudah basi, lagipula aku sudah lelah, lebih baik aku nikmati hari ini, dan urusan hari esok terserah malam ini.

Kiranya bau kecut di bawah ketek telah terpermentasi menjadi aroma maryuana yang memabukan, menjadi candu yang membius setiap orang dan terbuai, seolah tak ada lagi keresahan hidup yang selalu membebani. Dan di tempat ini permasalahan hidup terurai dengan pasti, hanya tinggal ikuti saja aturan main, hirup bau candu itu perlahan, nikmati, dan resapi, dan permasalahan pun akan segera menguap, setidaknya sabarlah menunggu selama satu minggu, maka hilanglah resah.

Apa yang telah terjadi selama ini? Apakah hanya aku saja si hewan jalang yang bicara di sini? Bukan! Sebelumnya ada beberapa ekor hewan bicara meski tidak jalang. Mereka telah menemukan jalan keluar dari firdaus ketek ini. Seperti jiwa yang mendapat hidayah, mereka meyakini keputusan yang mereka pilih, dan dengan tegap penuh gairah hidup mereka meniti jalan hidup mereka tanpa sesal, tanpa ragu, mereka bebas, mereka hidup. Aku iri dengan mereka. Aku ingin seperti mereka, namun aku takut, khawatir kehilangan firdausku yang manisnya kurasakan sekali dalam seminggu, setiap Jum’at dan akhir bulan, sebagai penawar untuk beban hidup dan berbagai macam tagihan. Apakah akupun mulai terbuai candu ini? Meskipun begitu, aku masih punya kesadaran dan mimpi tentang sebuah kenyataan kecutnya bau ketek, dan segarnya udara subuh setelah lelapku terjaga.

Bandung, 4 Desember 2006

No comments: